Satu Kamar Penuh Uang dan Tumbal: Misteri Kontrakan Rp300 Ribu di Rumah Ritual "Ibu Ratu"
- Youtube Malam Mencekam
Olret – Keterbatasan ekonomi sering memaksa kita mengambil jalan pintas. Namun, bagi Mas Iyep, harga kontrakan yang terlampau murah ternyata datang dengan bayaran yang tak ternilai: nyawa anak kandungnya sendiri.
Pada tahun 2018, Mas Iyep bertekad bulat untuk mandiri. Dengan istri keduanya dan tiga anak, ia mencari kontrakan di Indramayu.
Pencariannya berakhir ketika seorang teman memberinya informasi tentang sebuah rumah besar di Kecamatan Juntinyuat—dua lantai, empat kamar, halaman luas—dengan harga yang sungguh tak masuk akal: Rp300.000 per bulan.
Normalnya, rumah dengan fasilitas listrik dan air lancar semacam itu bernilai jutaan rupiah. Namun, Mas Iyep yang butuh tempat tinggal segera, tanpa pikir panjang, menyewanya. Satu-satunya pesan dari Pak RT yang menjadi perantara hanya ini: "Ada satu kamar yang tidak boleh digunakan."
Rezeki Deras, Gangguan Mencekam
Dua bulan pertama berjalan seperti mimpi. Keluarga Mas Iyep betah, dan rezeki dari usaha pertanian serta pekerjaan tambahan seolah mengalir deras. Namun, keanehan perlahan menyelinap.
Awalnya, anak keduanya terluka aneh dekat pintu kamar terlarang. Kemudian, istri Mas Iyep pingsan karena panik tanpa sebab. Namun, yang paling meresahkan adalah perubahan sikap teman-teman Mas Iyep.
Mereka mendadak berhenti datang, mengaku ngeri. Mereka melihat sosok tinggi besar bertaring di lorong dekat kamar mandi, atau seorang perempuan berwajah pucat seperti ratu di balik kamar yang disegel itu.
Puncaknya terjadi ketika rumah terasa panas dan pengap. Sang istri menjerit kesurupan, sementara ketiga anaknya menunjukkan perilaku aneh: tertawa tanpa sebab, menangis meraung, dan menatap sudut kosong.
Saat Mas Iyep melawan dengan doa, ia merasakan kehadiran sosok anggun, beraroma melati yang kuat. Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai "Ibu Ratu."
Tawaran Harta dan Permintaan Tumbal
Ibu Ratu berulang kali mengucapkan satu kalimat: “Kamu harus menjadi penerus yang sudah ada.” Permintaan itu disertai syarat yang membuat darah Mas Iyep membeku: ia harus menyerahkan anak pertamanya yang lahir di malam Jumat Kliwon sebagai tumbal.
Di tengah keputusasaan melawan gangguan gaib, Mas Iyep melihat pintu kamar terlarang itu terbuka. Dari dalamnya, ia melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan: tumpukan uang merah, gepokan demi gepokan, berjatuhan seolah memenuhi seluruh ruangan.