Dari Layar Kaca ke Ruang Konseling: Pukulan Terberat Intan Erlita yang Mengubah Total Fokus Hidupnya
- Youtube
Olret – Siapa yang tak kenal dengan Intan Erlita? Bertahun-tahun namanya identik dengan gemerlap dunia infotainment dan liputan olahraga, menghiasi layar kaca sebagai presenter yang energik.
Namun, di balik citra publik yang sempurna, ia ternyata menyimpan sebuah rahasia besar: gelar Master Psikologi yang diam-diam terus diasah.
Kisah hidup Intan Erlita adalah pengingat tajam bahwa kesuksesan karir seringkali tak sejalan dengan ketenangan di rumah. Puncaknya, sebuah "pukulan" keras di kehidupan pribadinya memaksa ia meninggalkan gemerlap panggung dan kini dikenal sebagai psikolog yang vokal dalam isu parenting dan kesehatan mental dari sudut pandang Islam.
Awal Mula Dualisme Karier
Intan Erlita mengungkapkan bahwa ia sudah memiliki gelar psikolog sejak awal 2000-an, namun sengaja tidak ia tonjolkan. Berkat dorongan tegas sang ayah yang menuntutnya menyelesaikan pendidikan tinggi, ia terus berpraktik sebagai psikolog bahkan saat tengah sibuk menjadi presenter.
Namun, fokus karirnya mulai goyah saat sang putra sulung menginjak bangku SMA. Secara profesional, ia adalah coach komunikasi terkemuka yang melatih perusahaan-perusahaan besar. Namun, di rumah, ia gagal.
"Aku coach di dunia komunikasi, belajar ilmu komunikasi sampai ke UK. Tapi, aku enggak bisa ngomong sama anakku," ujarnya pilu.
Anak sulungnya menjadi dingin dan berjarak, membuatnya menyadari bahwa semua gelar dan kesuksesan luar biasa tidak berarti apa-apa saat ia gagal dalam peran utamanya: menjadi seorang ibu.
Titik Balik Spiritual: "Anakmu Adalah Hasil Pola Asuhmu"
Momen terberat itu membawanya pada seorang guru agama (Ustaz) untuk mencari solusi komunikasi dengan sang anak. Tak disangka, jawaban yang ia terima sungguh menampar.
Bukannya diberi tips berkomunikasi, sang guru justru menembak balik: "Anakmu itu ya hasil pola asuhmu. Maka nikmati ketika anakmu tidak merasa dekat dengan kamu, karena kamu bukan orang yang nyaman. Kamu yang harus tobat, karena kamu yang merusak anak kamu."
Pernyataan ini melumpuhkan semua teori psikologi yang pernah ia pelajari. Ia menyadari bahwa ia telah merusak fondasi hubungan dengan anaknya sendiri.
Sejak saat itu, ia memutuskan mundur dari karir training yang intensif dan fokus memperbaiki diri, menyadari bahwa prioritas tertinggi wanita di hadapan Allah adalah peran sebagai ibu.
Pondasi Kesehatan Mental: Kembali ke Allah
Dari perenungan ini, Intan Erlita kini mendalami Psikologi Islam. Ia menemukan kebenaran fundamental bahwa akar dari depresi dan penyakit kejiwaan adalah kekosongan jiwa, yang berarti melemahnya hubungan seseorang dengan Allah SWT.
Terapi Duniawi vs. Ilahiah
Ia menekankan bahwa dalam terapi, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta (bertaubat, shalat, berzikir) untuk menenangkan jiwa. Barulah setelah itu, terapi duniawi (ikhtiar) dapat bekerja efektif.
Psikolog Sebagai Pengantar
Menurutnya, peran psikolog Islami adalah menjadi jembatan bagi mereka yang belum siap menerima ajaran agama secara langsung. Tujuannya: mengantar klien sampai ke pintu agama, tempat solusi sejati berada.
Tantangan Ibu Milenial: Jauhi Perbandingan di Media Sosial
Dalam menghadapi masalah parenting masa kini, ia menggarisbawahi dua tantangan terbesar:
Media Sosial
Ia menyebut media sosial sebagai pemicu mental illness terbesar karena mendorong perbandingan tanpa henti. Melihat postingan kesuksesan orang lain dapat menghancurkan rasa syukur kita sendiri.
Solusinya? Gunakan tombol mute. Jika melihat unggahan seseorang membuat hati panas, lebih baik matikan notifikasi daripada merusak jiwa sendiri.
Menjadi Coach, Bukan Komandan
Ia mendorong orang tua untuk menjadi pelatih (coach) bagi anak, bukan sekadar komandan yang hanya bisa memberi perintah. Layaknya atlet dan pelatih, orang tua harus memfasilitasi dan menggali potensi anak melalui komunikasi efektif dan banyak bertanya, membiarkan anak sendiri yang menemukan jalannya.
Kisah Intan Erlita adalah pelajaran berharga bagi setiap orang tua: bahwa pendidikan terbaik bagi anak tidak ada di sekolah mana pun, melainkan di diri kita sendiri sebagai panutan.
Ingin mendalami bagaimana menjadi coach yang efektif bagi anak Anda, atau mencari solusi untuk masalah parenting yang Anda hadapi?