Merantau, Berdoa, dan Filosofi Ketidaknyamanan: Pelajaran Hidup dari Raim Laode
- Youtube
Olret – Dalam episode ke-46 podcast SUARA BERKELAS, perbincangan antara Bilal dan Raim Laode atau yang populer juga dengan sebutan Komang Laode menyajikan serangkaian pelajaran hidup yang tajam, relevan bagi kaum muda yang sedang mencari jati diri.
Diskusi ini menyentuh inti dari perjuangan, mulai dari fase merantau hingga filosofi unik tentang mengelola kesuksesan dan kegagalan.
Merantau Bukan Tujuan, Melainkan Jembatan Pulang
Quote Anak Rantau
- sarjanakata.com
Bagi Komang Laode, merantau bukanlah sekadar mencari penghidupan yang lebih baik, melainkan perintah agama untuk memperluas perspektif dan menimba ilmu. Namun, ia menekankan satu hal krusial: tujuan akhir merantau adalah pulang kampung.
"Merantau berhasil tidak pulang-pulang itu bukan Merantau, menjajah namanya."
Kesuksesan sejati di perantauan dibuktikan dengan membawa pulang ilmu untuk diterapkan di kampung halaman. Komang juga mengingatkan bahwa oleh-oleh terbaik bukanlah barang mewah, melainkan kehadiran diri yang selamat di tengah keluarga.
Kekuatan Doa Melawan Cita-Cita yang "Lalai"
Komang Laode memiliki pandangan unik tentang aspirasi. Ia tidak terlalu percaya pada cita-cita atau berharap, melainkan pada meminta dan berdoa.
"Saya tidak suka kata berharap. Saya lebih suka kata berdoa."
Alasannya sederhana: berharap tanpa realitas berujung sakit hati, sementara berdoa, meskipun tidak terkabul, memberikan kelegaan karena kita menyerahkan rencana kepada Sang Pencipta. Poin terpenting? Doa tidak terwujud bukan salah Tuhan, tapi salah mentalmu yang belum siap.
Ini menjadi kunci emas: tugas kita adalah meminta dan sekaligus mempersiapkan mental untuk menerima jika doa itu dikabulkan.
Keluarga sebagai Benteng dan Ilmu sebagai Modal Utama
Keluarga Syifa Hadju dan El Rumi
- instagram.com/@sndihadju
Dekade usia 20 hingga 30 tahun adalah periode paling krusial, penuh dengan event besar seperti menikah, kehilangan orang tua, atau wisuda. Menurut Komang, setiap event ini hanya membutuhkan dua modal: budgeting dan ilmu.
Lebih dari itu, ia memberikan hierarki prioritas dalam hidup: keluarga adalah lingkaran pertama (safe space), baru kemudian teman. Kekalahan terbesar seseorang adalah ketika gengsi dan prestasi menjadi tembok penghalang silaturahmi dengan saudara kandung.
"Kenapa kita akrab setelah Bapak meninggal, sih? Bayangkan kita akrab bapak masih ada, Wih senangnya hidupnya Bapak!"