Aktor Omara Esteghlal Membongkar Makna Hidup: Mengapa Kita Harus Mencintai Perjuangan, Bukan Hasilnya

Aktor Omara Esteghlal Membongkar Makna Hidup
Sumber :
  • Youtube

Olret – Bintang film Omara Esteghlal mengejutkan banyak orang. Di luar karier aktingnya, ia adalah seorang filsuf otodidak yang pernah mengalami krisis eksistensial.

Wanita dari 4 Shio Ini Ditakdirkan Untuk Menikmati Cinta dan Kekayaan Seumur Hidup!

Dalam siniar SUARA BERKELAS, ia mengajak kita meninjau ulang premis dasar kehidupan: Apakah kita hidup untuk mencari kesenangan, atau justru untuk mencintai penderitaan itu sendiri?

Dari Psikologi ke Pelukan Eksistensialisme

3 Shio yang Terlahir Sebagai Pemimpin, Naga Sehingga Harimau

Dampak Psikologis dari Kebisingan

Photo :
  • freepik

Bagi Omara, jalan menuju filsafat bukanlah jalur yang mulus. Minat awalnya pada psikologi saat SMA membawanya pada pelajaran yang lebih fundamental. Titik baliknya terjadi di bangku kuliah, saat ia mengambil mata kuliah Philosophy of Mind dan, yang paling mengubahnya, Eksistensialisme.

Pelajaran Berkelas 25 Tahun Karir Andien : "Kamu Harus Mau Menyelam ke Sisi Gelap Kamu Juga"

Omara menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu—tentang kebebasan, tujuan hidup, dan pilihan—ternyata memiliki kerangka berpikir resmi dalam filsafat. Ia menemukan bahwa kosa kata yang ia butuhkan untuk mendefinisikan keresahannya ada di sana.

Pengalaman ini membawanya pada tiga karya fundamental yang mengubah lensa pandangnya terhadap dunia:

Genealogy of Morality (Friedrich Nietzsche): Karya ini membuatnya mempertanyakan standar moralitas yang selama ini diterima, menyimpulkan bahwa konsep 'baik' dan 'jahat' hanyalah hasil dari evolusi sosial dan sejarah.

Tractatus Logico-Philosophicus (Ludwig Wittgenstein): Mengajarkan bahwa komunikasi penuh dengan asumsi. Bahkan dalam percakapan yang paling sederhana, kita sering gagal bertemu di makna yang sama.

The Fall (Albert Camus): Menggugat keikhlasan di balik perbuatan baik. Apakah kita menolong karena tulus, atau karena terpaksa oleh kewajiban sosial dan keinginan untuk diakui?

Mengapa Hidup Adalah Penderitaan yang Wajib Dirayakan

Kebutuhan Pasangan yang Harus Dipenuhi Secara Psikologis

Photo :
  • freepik.com

Inti dari perbincangan Omara berakar pada pandangan pesimistis namun realistis dari filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer.

Sebelumnya, kami juga sudah membuat artikel menarik tentang Omara di Menggali Filsafat Penderitaan dan Absurditas bersama Omara Esteghlal

Schopenhauer berpendapat bahwa hidup adalah penderitaan (to live is to suffer). Mengapa? Karena siklus pengejaran manusia itu absurd. Kita bekerja keras untuk mendapatkan gaji, lalu menghabiskan gaji itu, dan kembali bekerja keras.

Ketika kita mencapai tujuan (misalnya, membeli mobil mahal), kita justru menggunakan hasil jerih payah itu untuk mengawali lagi proses perjuangan yang lebih berat.

Omara menyimpulkan, "Yang kita cari itu sebenarnya bukan kenikmatan-kenikmatan yang ada, tapi kesusahpayahan yang kita dapati dari konsekuensi dalam kenikmatan-kenikmatan tersebut."

Pandangan ini diperkuat oleh konsep Absurditas dari Albert Camus melalui Mitos Sisifus. Sisifus dihukum untuk mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu itu jatuh kembali, selamanya. Ali-alih melihatnya sebagai siksaan abadi, Camus meminta kita untuk membayangkan Sisifus bahagia.

Inilah kunci filosofisnya: Manusia harus berhenti fokus pada hasil—karena hasil akan selalu kembali ke titik nol—dan sebaliknya, merayakan proses perjuangan itu sendiri. Mencintai kerja keras, tantangan, dan upaya, terlepas dari apakah hasil akhirnya permanen atau tidak.

Ketika Tujuan Hidup Hilang: Krisis Eksistensial

Trik Psikologis yang Membuat Orang Menghormati Kamu

Photo :
  • freepik.com/author/tirachardz

Pencarian makna filosofis Omara bukanlah sekadar wacana akademis. Ia berbagi pengalamannya mengalami krisis eksistensial yang parah saat di bangku kuliah, bahkan setelah meraih kesuksesan di dunia film.

Saat menghadapi musim dingin yang ekstrem di Amerika, ia sempat merenung, "Kalau misalnya aku tiba-tiba mati kedinginan di sini, dunia itu kan enggak akan berubah." Ia menyadari bahwa pencapaian eksternal (nilai bagus, popularitas film) hanyalah pemuasan ego yang rapuh.

Titik terendah, menurutnya, bukanlah trauma yang disebabkan faktor eksternal, melainkan trauma yang kita ciptakan sendiri: rasa benci dan caci maki terhadap diri sendiri. Ketika tujuan dan esensi hidup hilang, yang tersisa hanyalah kekosongan yang menyakitkan.

Kisah Omara mengingatkan kita: Filsafat bukanlah pelajaran yang terpisah dari kehidupan. Ia adalah alat untuk memahami mengapa kita berjuang, dan mengapa, dalam menghadapi Absurditas yang tak terhindarkan, satu-satunya pilihan rasional adalah mencintai upaya dan prosesnya, hari demi hari.