Jebakan Utang dan Ludah Dendam: Kisah Horor Pak Rahman di Gunung Hejo
- Youtube Malam Mencekam
Olret – Malam itu, di kaki Gunung Ciremai, kabut tebal menyelimuti. Dinginnya menusuk, seolah alam turut meratapi nasib Pak Rahman yang kini terperangkap dalam pilihan gelap.
Di dalam tenda sederhana, pria paruh baya itu duduk gelisah. Sorot matanya kosong, menyimpan kisah pilu tentang utang, harga diri yang hancur, dan langkah nekat mencari pesugihan di Gunung Hejo.
Awal Petaka: Terjerat Utang dan Penipuan
Kisah kelam Pak Rahman bermula pada tahun 2016. Hidupnya goyah saat perusahaan tempatnya bekerja mulai memangkas gaji. Beban kian berat ketika penyakit aneh menyerang, membuat dadanya terasa disayat dan lehernya seperti dicekik. Dokter tak menemukan kelainan, dan keputusasaan menuntunnya pada seorang paranormal di Baturaden.
Sang paranormal mengklaim memiliki "rezeki gaib" berupa lima kardus uang. Tergiur, Pak Rahman nekat meminjam uang dari rekan kerjanya yang juga seorang rentenir, hingga total utangnya membengkak mencapai 29 juta rupiah.
Namun, uang itu tak pernah didapat. Sang paranormal menghilang, meninggalkan Pak Rahman dengan utang segunung dan aib yang tak terbayangkan.
Harga dirinya hancur ketika penagih utang datang dengan kasar, memaki, bahkan meludahi wajahnya di depan para tetangga. Dari situlah, dendam membara. "Ludah ini jadi saksinya. Lu akan gue tumbalin!" sumpah Pak Rahman dengan mata berapi-api. Amarah dan rasa sakit hati menutup akal sehatnya, mendorongnya mencari jalan pintas.
Mempertaruhkan Segalanya di Gunung Hejo
Dalam kebuntuan, seorang kenalan bernama Dede memberinya harapan—jalan pintas yang sesat. Ia memperkenalkan Pak Rahman pada praktik pesugihan di Gunung Hejo, Subang, tempat orang bisa "menjual musuh" demi kekayaan.
Dengan tekad buta, Pak Rahman menemui seorang abah penjaga ritual. Syaratnya tak main-main: tirakat selama tiga malam di tengah hutan, dengan sesajen dan tekad yang bulat. "Jangan lari, meski yang datang jurig menyeramkan," pesan sang Abah.
Malam pertama berlalu tanpa kejadian. Di malam kedua, suasana mulai mencekam. Kunang-kunang berputar, suara babi hutan menggeram, dan tawa kuntilanak terdengar dari atas pohon. Pak Rahman menggigil, tapi ia bertahan, terus mengingat hinaan yang diterimanya. Ia sudah tak peduli, yang ada di benaknya hanyalah satu: membalas dendam.