Pendidikan Kedinasan dan Tantangan Melahirkan Birokrat Masa Depan

Ence Sopyan, S.Sos., M.A.P., Dosen & Koor. Eksekutif PRIMANURA.
Sumber :
  • Olret/ES

Jakarta, OlretPotret Alokasi Anggaran Pendidikan Kedinasan: Diskursus tentang anggaran pendidikan kembali mencuat ketika publik disodorkan data mencengangkan dari anggota DPR RI (Mekeng, 2025) terkait alokasi dana pendidikan. Data tersebut menunjukan bahwa anggaran ‘pendidikan kedinasan’ yang dikelola berbagai kementerian/lembaga jauh melampaui anggaran yang diterima sektor pendidikan umum. 

Menelusuri Labirin Kars Terbesar Ketiga di Dunia: Catatan Perjalanan Kelana Bentala di Maros

Amanat Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD dialokasikan pada kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Dalam APBN 2025, pendidikan kedinasan menghabiskan Rp 104,5 triliun untuk hanya sekitar 12.000 sampai 13.000 peserta didik. Artinya, rata-rata alokasi anggaran peserta didik kedinasan mencapai lebih dari Rp 8 miliar per-tahun.

Sebaliknya, pendidikan umum yang mencakup 62,07 juta siswa/mahasiswa di bawah Kemendikdasmen (53,17 juta siswa) dan Kemdiktisaintek (8,9 juta mahasiswa) hanya mendapat Rp 91,2 triliun, atau sekitar Rp 1,4 juta per-siswa/mahasiswa. 

Hojlund Berulah! Apakah Kariernya di Manchester United Sudah Berakhir?

Ketimpangan ini makin terasa jika dikaitkan dengan profil pendidikan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data GoodStats (2024), 24,3% penduduk Indonesia tidak/belum pernah sekolah, 22,27% hanya tamat SD, 14,45% tamat SMP, dan 21,51% tamat SMA/SMK.

Sementara itu, lulusan perguruan tinggi (D1–S3) hanya 6,82% dari total penduduk, atau sekitar 19,7 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa akses ke pendidikan tinggi masih sangat terbatas, sehingga anggaran jumbo untuk pendidikan kedinasan yang jumlah pesertanya sangat sedikit semakin sulit dibenarkan secara prinsip pemerataan.

Lupakan Sejarah! Eddie Howe Waspada Penuh Jelang Duel Lawan MU

Dalam teori kebijakan publik, alokasi anggaran mencerminkan prioritas negara (Dye, 2017). Ketika sektor yang hanya menjangkau minoritas mendapat porsi jumbo, sementara pendidikan umum yang sifatnya mayor dan menjadi fondasi kecerdasan bangsa justru terbatas, itu bukan sekadar persoalan teknis penganggaran. Ia adalah cermin dari orientasi kebijakan yang melenceng dari prinsip pemerataan dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Pendidikan Kedinasan dan Janji Profesionalisme Aparatur

Pendidikan kedinasan sejak lama diposisikan sebagai jalur elite untuk mencetak aparatur negara yang siap mengisi pos-pos strategis, mulai dari fiskal, kepabeanan, perhubungan, hingga pertahanan.

Dengan dukungan penuh APBN meliputi biaya pendidikan, asrama, bahkan penempatan kerja, publik wajar menaruh harapan besar agar lulusan kedinasan tampil sebagai birokrat profesional, berintegritas, dan mampu menjawab tantangan birokrasi modern.

Jika investasi pendidikan kedinasan benar-benar efektif, maka output birokrasi seharusnya menunjukkan lompatan kinerja yang signifikan. Sayangnya, data menunjukkan sebaliknya.

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) tahun 2024 mencatat nilai rata-rata kabupaten/kota hanya 64,23 (kategori “B” atau “Baik”), sedangkan provinsi berada di angka 70,75. Angka tersebut memang menunjukkan perbaikan, tetapi belum mampu mencerminkan birokrasi yang unggul dan adaptif.

Pada fakta di lapangan, realitasnya jauh lebih kompleks. Evaluasi lembaga pengawas menunjukkan investasi besar negara pada pendidikan kedinasan belum berbanding lurus dengan mutu birokrasi yang dihasilkan.

KPK (2023) melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) mencatat skor nasional hanya 70,97, turun dari 72,43 pada tahun sebelumnya, yang mengindikasikan masih kuatnya potensi korupsi dan maladministrasi bahkan di instansi yang banyak diisi lulusan pendidikan kedinasan. Ironi ini tercermin dalam sejumlah kasus nyata. Misalnya, KPK (2022) menetapkan sejumlah pejabat di Kementerian Keuangan terlibat dalam kasus gratifikasi dan suap terkait pajak. Kasus ini mengguncang karena institusi tersebut dikenal sebagai salah satu lembaga yang banyak diisi oleh lulusan PKN STAN.

Ombudsman RI (2025) juga melaporkan lonjakan aduan publik menjadi 10.846 kasus pada 2024, meningkat signifikan dari 8.452 pada 2023. Substansi aduan meliputi penundaan pelayanan, ketidakpastian, dan penyimpangan prosedur. Hal ini mengindikasikan bahwa birokrasi kita belum menunjukkan standar profesionalisme yang diharapkan oleh masyarakat.

Ombudsman RI (2024) juga menyoroti maladministrasi dalam pelayanan keimigrasian, sektor yang juga banyak ditopang lulusan pendidikan kedinasan di bawah Kementerian Hukum dan HAM, mulai dari pungutan liar hingga keterlambatan layanan paspor (saat ini dua kementerian tersebut dipisah). 

Data komparatif Ombudsman (2024) menunjukkan bahwa, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Perhubungan, lembaga-lembaga yang dominan menggunakan lulusan pendidikan kedinasan masuk dalam lima besar instansi dengan jumlah aduan publik tertinggi.

Misalnya, Kementerian Hukum dan HAM mencatat lebih dari 2.000 aduan maladministrasi, sementara Kemenkeu dan Kemenhub masing-masing mencatat ratusan kasus pelayanan. Angka-angka ini menegaskan bahwa meskipun biaya pendidikan per-mahasiswa kedinasan bisa mencapai miliaran rupiah per tahun, realitas pelayanan publik yang dihasilkan justru masih dipenuhi dengan problem klasik birokrasi.

Mutu Aparatur di Era Reformasi ASN

Mutu aparatur negara seyogyanya tidak hanya diukur dari adanya dikotomi antar pendidikan satu dengan yang lainnya. PermenPANRB No. 38/2017 menegaskan bahwa ASN harus memiliki tiga rumpun kompetensi yakni teknis, manajerial, dan sosial-kultural.

Sementara itu, UU No. 20/2023 tentang ASN menggarisbawahi asas meritokrasi, yang mewajibkan rekrutmen, promosi, dan pengembangan karier berbasis kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.

Sebelum dibubarkan, KASN (2023) pernah menunjukkan implementasi merit system yang masih jauh dari konsisten. Banyak instansi pemerintah belum sepenuhnya menerapkan sistem berbasis kompetensi, sehingga lulusan pendidikan kedinasan yang berkualitas pun mempunyai potensi masuk dalam sistem birokrasi dengan budaya kerja yang feodal, kurang transparan, dan minim inovasi.

Dalam perspektif New Public Management, birokrasi modern seharusnya menekankan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Konsep Value for Money (Hughes, 2018) juga menegaskan bahwa setiap rupiah anggaran publik harus dipertanggungjawabkan berdasarkan asas ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.

Dengan demikian, mismatch antara biaya pendidikan kedinasan dan output birokrasi memperlihatkan bahwa investasi belum memberikan value yang setara dengan dana yang digelontorkan.

Dwiyanto (2021) menegaskan bahwa profesionalisme aparatur tidak hanya lahir dari pendidikan, melainkan juga ditentukan oleh sistem merit, budaya organisasi, dan mekanisme akuntabilitas publik.

Kondisi ini dapat dijelaskan melalui konsep bureaucratic accountability yang menegaskan bahwa inti dari mutu birokrasi bukan hanya terletak pada kapasitas teknis yang diperoleh melalui pendidikan, tetapi pada mekanisme akuntabilitas yang melekat dalam sistem.

Aparatur yang berpendidikan tinggi sekalipun akan cenderung gagal memenuhi ekspektasi publik jika tidak terikat pada instrumen akuntabilitas yang jelas, siapa yang harus dipertanggungjawabkan, kepada siapa, dan melalui mekanisme apa.

Secara teoritis, reformasi birokrasi hari ini perlu menambah kompetensi modern yang berjalan bersama dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kerangka Algorithmic State Architecture (ASA) memandang bahwa birokrasi modern harus terintegrasi secara sistemik dari infrastruktur digital hingga algoritma pengambilan keputusan untuk menjaga efisiensi dan responsivitas dalam pelayanan publik.

Selain itu, tantangan penggunaan teknologi AI oleh birokrat menuntut kerangka adaptive governance, yakni mekanisme regulasi yang fleksibel, responsif terhadap risiko, dan melibatkan multi-aktor dalam pengambilan keputusan teknologi baru. Tanpa kerangka ini, investasi pendidikan kedinasan yang berbiaya besar akan berisiko menghasilkan birokrasi mahal tanpa daya saing digital nyata. 

Dengan kata lain, pendidikan kedinasan memang mencetak lulusan yang disiplin, terampil, dan berwawasan teknis. Tetapi tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat, baik berupa transparansi anggaran, standar kinerja yang terukur, mekanisme pengawasan publik, serta kemampuan beradaptasi dengan kompetensi digital, aparatur lulusan kedinasan tetap berpotensi terjebak dalam pola lama yaitu birokrasi yang lamban, koruptif, dan tidak responsif.

Di sinilah terlihat paradoks utama, negara berinvestasi besar untuk mencetak birokrat unggul, namun kelemahan sistem akuntabilitas dan digitalisasi membuat hasil investasi tersebut belum sepenuhnya menghadirkan keunggulan yang nyata dibanding harapan publik. Dengan kata lain, keistimewaan kedinasan yang didukung anggaran besar justru belum menunjukkan diferensiasi signifikan dalam hal kinerja birokrasi.

Reformasi akuntabilitas birokrasi dan digitalisasi aparatur menjadi kunci agar investasi besar pada pendidikan kedinasan benar-benar terkonversi menjadi mutu aparatur yang menjawab kebutuhan masyarakat. 

Pada akhirnya, pendidikan kedinasan tidak boleh terus menjadi “menara gading” birokrasi yang menguras anggaran namun gagal menjawab kebutuhan rakyat. Investasi besar yang telah digelontorkan negara hanya akan bermakna apabila lulusan kedinasan benar-benar membawa wajah baru birokrasi yaitu transparan, akuntabel, dan melayani.

Jika tidak, maka pendidikan kedinasan hanya akan menjadi ironi abadi, simbol kemewahan anggaran yang tidak berbanding lurus dengan mutu pelayanan. Inilah saatnya negara berani melakukan koreksi arah kebijakan, memastikan setiap rupiah untuk pendidikan aparatur kembali pada tujuan mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghadirkan birokrasi yang bekerja untuk rakyat, bukan sekadar untuk dirinya sendiri. 

*) Oleh : Ence Sopyan, S.Sos., M.A.P., Dosen & Koordinator Eksekutif PRIMANURA (Pemerhati Reformasi Mutu Aparatur dan Undang-Undang Negara)

*)Tulisan Opini sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi olret.viva.co.id