Jangan Pergi, Tetaplah Disini. Tetaplah Tinggal Disampingku Sayang
- ENA
Olret – Di pergantian musim,
Dan satu situasi dimana mimpimu berhenti menyebut satu nama,
Kau memanggilku "Berhenti!", Katamu
Kau bawa diriku, jauh ke dalam
Terdalam yang pernah kususuri
Kau menenggelamkan,
aku tenggelam "Pergi!", Sentakmu setelah itu,
Lalu air mataku jatuh
Tapi bibirku tersenyum,
Kau adalah derai hujan,
Aku adalah tanah "Kembali!", Pintamu.
Aku menerima pelukmu
Terjatuh. "Jangan pergi, tetaplah disini, tetaplah tinggal di sampingku, sayang." Bisikmu.
Aku mengesakan cinta.
Apakah kau tetap setia meski keputusannya dalam berhubungan denganmu sering berubah-ubah?
Sajak ini merupakan status instagram.com @detaksajak_ yang sebentar lagi mengeluarkan buku yang sangat menarik.
Bunga dan Tembok
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki adanya
Kau lebih suka
Membangun rumah, merampas tanah
Kau lebih suka
Membangun jalan raya, membangun pagar besi
Jika kami bunga, engkaulah tembok itu
Telah kami sebar biji-biji ditubuhmu
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan
Kau harus hancur..!!
#wijiThukul
#menolaklupaMEI'98
Makna dari puisi tersebut adalah sekelompok orang yang tidak di inginkan keberadaannya dan yang tidak di inginkan kehadirannya. Karena mereka lebih membutuhkan kekuasaan dan merampas yang bukan haknya.
Mereka juga lebih suka membangun tanda-tanda kekuasaan sehingga terlihat jaya di pandang. Mereka hanya membutuhkan kekuasaan dengan sejuta tujuan. Namun, kami yakin suatu saat akan bisa mengambil hak-hak kami yang telah kalian rampas.
Suatu saat juga kami yakin, kami akan tumbuh bersama denganmu namun tidak dengan cara sepertimu. Biarkanlah kami tetap menjadi seperti ini dengan keyakinan.
**
Kalau jenuh, beri jeda saja, jangan lantas disudahi. Kamu kalau sedang jenuh sama pasangan, gimana? Ngelakuin apa?
Siapa yang lebih sering menyenangkan semua orang, tapi melupakan diri sendiri? Kenapa?
Aku adalah sepatu yang pernah kaugenggam dan kaulihat di tempat perbelanjaan, tetapi tidak kaubawa pulang. Kau mengembalikanku ke tampat di mana aku biasa terdiam, di kesunyian. Menyimpan sepi dalam keramaian.
Aku adalah kopi yang tak habis kaunikmati, menjadi dingin dalam embusan angin. Akhirnya terbuang, tercuci, terbilas, hilang dalam ingatan. Mengalirkanku tersungkur ke tanah, tempat biasa air mata deras bersimbah.