Biadab Bangat! Seorang Ayah Tiri Perkosa Putrinya, Lapor Polisi Tapi Tetap Disuruh Satu Atap Sama Pelaku!

Seorang Ayah Tiri Perkosa Putrinya
Sumber :
  • Youtube

Olret – Keluarga seharusnya menjadi benteng perlindungan pertama, namun bagi sebagian anak, rumah justru berubah menjadi zona teror.

Maudy Ayunda: Mengubah Rasa Takut Menjadi Kekuatan dan Membangun Passion

Kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diperparah dengan dugaan pelecehan seksual, terutama yang melibatkan ayah tiri terhadap anak, terus menjadi catatan kelam yang merobek rasa aman dalam masyarakat.

Di berbagai wilayah di Indonesia, dari Manado, Bekasi, Tangerang, hingga Sumatera Utara, laporan mengenai ayah tiri yang menjadi pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak tirinya terus bermunculan.

Air Mata di Balik Podcast Denny Sumargo: Kisah Pilu Anak 15 Tahun Diperkosa Ayah Tiri

Ironi ini menunjukkan bahwa status hubungan darah bukanlah satu-satunya penentu keamanan dalam sebuah rumah tangga. Kekerasan dalam bentuk ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga menghancurkan jiwa korban.

Korban dalam Bayang-Bayang Ancaman

Cerita Bu Wulandari Julianti : Dari Pelukan Paksa Hingga Ancaman Pisau dari Ayah Tiri

Seorang ibu, Wulandari Julianti (34), dan putrinya A (15), menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh suami sekaligus ayah tiri mereka, Meski laporan telah dibuat sejak November 2024, pelaku belum juga ditahan hingga kini.

Kasus-kasus kekerasan seksual dan KDRT yang melibatkan ayah tiri seringkali memiliki kompleksitas tersendiri. Pelaku menggunakan kekuatan dan posisi dominan mereka dalam rumah tangga—bahkan tak jarang melakukan ancaman—untuk membungkam korban.

Trauma yang Menggerogoti Jiwa: Dampak Psikologis Jangka Panjang

Dampak dari kekerasan seksual dan KDRT pada anak bukanlah hal sepele. Trauma yang ditimbulkan bersifat mendalam dan berpotensi menjadi gangguan jangka panjang. Korban tidak hanya kehilangan masa kecilnya, tetapi juga menghadapi kerusakan pada fondasi psikologis mereka.

Beberapa dampak psikologis yang dialami korban antara lain:

Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD): Munculnya mimpi buruk, flashback, dan rasa takut yang berlebihan terhadap pemicu yang mengingatkan pada kejadian traumatis.

Depresi dan Kecemasan Berlebihan: Korban cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, merasa bersalah, dan memiliki perasaan rendah diri atau tidak berharga.

Perubahan Perilaku dan Emosi: Mereka bisa menunjukkan agresivitas, kesulitan fokus dan konsentrasi di sekolah, emosi yang labil (mood swing), hingga ketidakmampuan membangun kepercayaan terhadap orang lain.

Risiko Bunuh Diri: Dalam kasus trauma yang sangat parah dan tidak tertangani, korban berisiko melukai diri sendiri atau memiliki dorongan untuk bunuh diri.

Penting untuk diingat: Gejala-gejala ini menegaskan bahwa penanganan korban tidak boleh berhenti pada proses hukum, tetapi wajib mencakup rehabilitasi psikososial yang intensif.

Perlindungan Hukum: Dari Ranah Privat ke Ranah Publik

Indonesia memiliki payung hukum untuk melindungi korban KDRT dan kekerasan seksual, terutama melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini adalah terobosan progresif yang menggeser isu KDRT dari masalah privat menjadi isu publik (delik biasa atau delik aduan yang diperberat), memastikan negara wajib hadir.

Bentuk Perlindungan Hukum bagi Korban:

Perlindungan Sementara

Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara (berlaku maksimal 7 hari) dan dapat diperpanjang melalui penetapan Pengadilan Negeri. Perlindungan ini bisa berupa penempatan korban di rumah aman atau pendampingan.

Sanksi Pidana Tegas

 Pelaku KDRT, termasuk kekerasan seksual, diancam dengan pidana penjara yang berat. Pasal 46 UU PKDRT mengatur bahwa pelaku kekerasan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan denda. Jika melibatkan anak, pidana ini bisa diperberat lagi berdasarkan UU Perlindungan Anak.

Layanan Terpadu

UU PKDRT mewajibkan adanya pelayanan komprehensif bagi korban, meliputi layanan kesehatan, pendampingan psikologis, bantuan hukum dari advokat, dan pelayanan sosial dari relawan.

Perlindungan ini harus dilaksanakan secara sinergis oleh kepolisian, jaksa, pengadilan, dan lembaga layanan masyarakat seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi dan pemulihan berjalan optimal.

Kasus-kasus ini adalah pengingat yang menyakitkan: Kekerasan bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang seharusnya paling aman. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk bersuara, melaporkan, dan mendukung korban agar mereka tidak lagi merasa sendiri dalam menghadapi trauma.

Pesan Kunci: Jika Anda mengetahui atau mengalami KDRT atau pelecehan seksual, jangan diam. Melaporkan adalah langkah awal menuju pemulihan dan keadilan.