Ketika Guruku Menyuruhku Menggambar Karikatur Rasululloh SAW Yang Kucintai
- freepik
“Wahai Rosululloh SAW tercinta, aku suka melukis dan menggambar, tapi aku tidak pernah melihatMu, lalu bagaimanakah caraku melukiskan Dirimu? Shollu ala Muhammad,” ucapku dalam hati dengan bersungguh sungguh, sambil mengucapkan sholawat Nabi, sama seperti yang telah diajarkan oleh kedua orang tuaku.
Tiba tiba dalam kesadaran, aku melihat banyak sekali kilasan-kilasan kehidupan yang aku jalani. Aku melihat ibuku yang sering menangis saat membaca dan menyampaikan kisah-kisah tentang Engkau, Rosululloh SAW tercinta. Aku melihat ayahku yang sholat di sepanjang malam. Aku melihat kakak perempuanku yang tetap tersenyum, meskipun dia mendapatkan penghinaan di jalan. Aku melihat sahabatku yang meminta maaf kepadaku, padahal aku yang bersalah. Sungguh, aku ingin menggambarkan semua itu pada sosokmu di secarik kertas yang ada di hadapanku.
Saat aku menutup mata dan memikirkan betapa agungnya Engkau, Ya Rosululloh. Aku Melihat Engkau Datang, kepadaku, kepada kami dengan senyum yang sempurna dan wajah yang begitu teduh, juga indah.
Lalu, aku berpikir, “Bagaimana mungkin? Bagaimana caranya, aku bisa melukiskan senyum yang sempurna dengan wajah yang begitu teduh nan indah itu? Bagaimana, bagaimana caranya, aku menggambarkan suri tauladanMu yang begitu agung ke semua orang yang belum atau mungkin tidak mengenalMu, termasuk guruku?”
Aku memahaminya dan tidak akan menyalahkannya. Guruku yang baik hanya belum mengenalmu atau mencintai seseorang seperti yang aku rasakan. Dan aku mencintaiMu Rosululloh SAW, meskipun belum pernah melihatMu. Namun tetap bisa kurasakan cahayaMu menghangatkan tubuhku.
Beberapa detik berlalu, dan kembali aku menatap kertas putih yang masih kosong di tanganku. Lalu, dengan penuh keyakinan dan semangat baru, aku mulai menyampaikan sebagian kecil tentang diriMu, wahai Rosululloh SAW tercinta. Aku juga membuat Kaligrafi Namamu, untuk menambah keindahan akan sosokmu.
Hingga tiba saatnya, aku maju dengan penuh keyakinan, keberanian dan pandangan baru soal cinta, juga kehidupan. Aku tersenyum begitu manis kepada Bu Jessica dan berjalan keluar kelas dengan penuh pengharapan. Meskipun hanya sedikit, kuharap dia dapat lebih mengenalMu dan tidak lagi berpikiran negative soal keyakinan yang kami punya kedepannya.