Positivisme Hukum dalam Filsafat Hukum: Perkembangan Pemikiran dan Kontribusi Hans Kelsen, John Austin, dan H.L.A. Hart

Filsafat Hukum
Sumber :
  • https://marinews.mahkamahagung.go.id/static/2025/07/08/ilustrasi-hukum-dan-keadilan-zjQwo.jpg

Olret –Munculnya berbagai aliran dalam filsafat hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat secara umum. Setiap aliran filsafat memberikan kontribusi terhadap lahirnya perspektif berbeda mengenai hukum, moralitas, dan kewenangan.

Perbandingan Dinamika Ketatanegaraan Thailand dan Belanda dalam Perspektif Negara Hukum Modern

Filsafat hukum muncul sebagai disiplin yang mengkaji dasar-dasar normatif hukum, baik dari sisi eksistensi hukum itu sendiri maupun relevansinya dengan masyarakat.

Di Indonesia, sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, pembangunan hukum tidak hanya terbatas pada pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembangunan hukum juga harus mencerminkan pemikiran filosofis yang matang mengenai bagaimana hukum dibentuk, dijalankan, dan ditegakkan untuk menciptakan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera.

Perbandingan Hukum Tata Negara, Dinamika Ketatanegaraan di Negara Malaysia dan India

Dalam konteks ini, aliran positivisme hukum menjadi salah satu pendekatan yang penting karena menekankan hukum sebagai norma tertulis yang sah secara yuridis, terlepas dari pertimbangan moral atau keadilan sosial.

Perkembangan Aliran Filsafat Hukum

Perbandingan Sistem Pemerintahan di Negera Mayoritas Penduduk Islam

Filsafat Hukum

Photo :
  • https://marinews.mahkamahagung.go.id/static/2025/01/31/kuhp-IcK82.jpg

Aliran filsafat hukum lahir dari upaya manusia untuk menjawab pertanyaan mendasar apa itu hukum, dari mana hukum berasal, dan bagaimana hukum diterapkan dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan sejarah filsafat, berbagai aliran hukum pun muncul, antara lain: hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sosiological jurisprudence, realisme hukum, dan freirechtslehre.

Setiap aliran memiliki ciri khas dan perspektif berbeda terhadap hukum. Misalnya, aliran hukum alam menekankan hukum yang muncul dari prinsip-prinsip moral dan keadilan universal, sementara positivisme hukum menekankan hukum yang berlaku karena ditetapkan oleh penguasa yang sah.

Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya sekadar norma formal, tetapi juga merupakan refleksi dari pemikiran filosofis dan konteks sosial yang melingkupinya.

Dalam konteks Indonesia, pengaruh aliran-aliran filsafat hukum ini terlihat dalam proses pembentukan undang-undang dan praktik yudisial. Misalnya, nilai keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila dapat dianggap sebagai refleksi dari prinsip hukum alam, sementara kepastian hukum dan ketertiban administratif lebih dekat dengan pendekatan positivisme hukum.

Dengan demikian, memahami aliran-aliran filsafat hukum membantu pembuat hukum, akademisi, dan praktisi hukum untuk menerapkan hukum secara lebih efektif dan kontekstual.

Konsep Dasar Positivisme Hukum

Positivisme hukum merupakan salah satu aliran yang menekankan kepastian hukum dan eksistensi norma yang sah secara yuridis. Aliran ini muncul pada abad ke-19, sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat akan aturan yang jelas dan dapat diterapkan secara konsisten.

Prinsip utama positivisme hukum adalah pemisahan antara hukum dan moral, di mana hukum dipandang sah karena ditetapkan oleh penguasa yang berwenang, bukan karena nilai moral atau keadilannya.

Hukum adalah “das Sein” (apa yang berlaku), bukan “das Sollen” (apa yang seharusnya). Dengan demikian, aturan hukum tetap disebut hukum walaupun secara moral dianggap tidak adil, selama prosedur pembentukannya sah dan diakui oleh negara.

Dalam praktik, positivisme hukum menekankan peraturan tertulis sebagai sumber hukum utama. Misalnya, di Indonesia, undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah menjadi landasan hukum yang mengikat masyarakat.

Positivisme menuntut kepastian hukum dan konsistensi penerapan norma, sehingga hukum menjadi instrumen yang efektif untuk mengatur tingkah laku masyarakat, mencegah kekacauan sosial, dan memastikan otoritas negara dijalankan secara formal.

Positivisme Hukum Menurut John Austin

John Austin adalah salah satu tokoh penting dalam positivisme hukum klasik. Ia menekankan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat dan diikuti oleh rakyat karena adanya kewajiban dan sanksi. Austin mendefinisikan hukum melalui empat unsur utama: perintah (command), kewajiban untuk menaati (duty), sanksi (sanction), dan kedaulatan (sovereignty).

Austin memandang hukum sebagai sistem yang tertutup, logis, dan formal, di mana legitimasi hukum bergantung pada kekuasaan penguasa, bukan pada pertimbangan moral. Hukum menjadi instrumen untuk memaksakan kepatuhan masyarakat, sehingga keberlakuannya lebih bersifat praktis dan formal.

Di Indonesia, konsep Austin dapat dilihat pada undang-undang yang diterapkan secara ketat oleh pemerintah, misalnya peraturan pidana dan administratif. Meskipun demikian, pendekatan ini memiliki kelemahan jika diterapkan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan nilai kemanusiaan, karena hukum yang sah secara formal belum tentu diterima secara moral oleh masyarakat.

Positivisme Hukum Menurut Hans Kelsen

Hans Kelsen mengembangkan positivisme hukum melalui Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre). Menurut Kelsen, hukum adalah tatanan norma yang memaksa dan mengatur perilaku manusia, yang harus dipisahkan dari unsur non-yuridis seperti politik, moral, dan budaya.

Kelsen juga memperkenalkan teori jenjang norma (Stufentheorie), di mana hukum dipandang sebagai sistem bertingkat: norma rendah memperoleh legitimasi dari norma yang lebih tinggi, hingga mencapai norma dasar (Grundnorm) sebagai sumber keabsahan seluruh sistem hukum. Dengan pendekatan ini, hukum menjadi sistem yang otonom dan rasional.

Di Indonesia, prinsip Kelsen terlihat dalam struktur perundang-undangan yang berbentuk hierarki: UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah. Konsep ini menegaskan bahwa setiap peraturan memiliki dasar legitimasi yang jelas, dan peraturan yang lebih rendah harus selaras dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga hukum tetap konsisten dan terstruktur secara sistematis.

Positivisme Hukum Menurut H.L.A. Hart

H.L.A. Hart menghadirkan positivisme hukum modern dengan kritik terhadap positivisme klasik. Hart menekankan bahwa hukum bukan hanya perintah penguasa, tetapi sistem aturan yang terdiri dari aturan primer dan sekunder. Aturan primer mengatur tingkah laku masyarakat secara langsung. Aturan sekunder mengatur prosedur pembentukan, perubahan, dan penegakan aturan primer.

Hart juga mengenalkan rule of recognition, yaitu kriteria yang menentukan validitas hukum. Meskipun membedakan hukum dan moral, Hart mengakui bahwa moral memiliki peran minimum untuk memastikan aturan diterima dan ditaati masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, teori Hart dapat diterapkan untuk memperkuat sistem hukum modern yang responsif terhadap dinamika sosial. Misalnya, aturan pidana yang sah secara formal (positif) harus dipahami dan diterima oleh masyarakat agar efektif. Pendekatan Hart juga mendukung reformasi hukum yang menekankan legalitas sekaligus relevansi sosial.

Positivisme Hukum dalam Konteks Negara Hukum Indonesia

Positivisme hukum memiliki pengaruh signifikan dalam praktik hukum di Indonesia. Negara hukum menuntut kepastian, keteraturan, dan legitimasi formal dalam setiap peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah menjadi sumber hukum utama yang mengikat masyarakat.

Namun, penerapan positivisme hukum harus diseimbangkan dengan nilai keadilan, moral, dan kemanusiaan, sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Dengan pendekatan modern, seperti yang dikembangkan Hart, hukum tidak hanya dipahami sebagai perintah formal, tetapi juga harus mempertimbangkan penerimaan masyarakat, kepatuhan sosial, dan fungsi regulatif hukum dalam masyarakat.

Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan ini menjadi kunci agar hukum tetap efektif dan mampu mendukung pembangunan masyarakat yang tertib, damai, dan berkeadaban.