Bagaimana Cara Kerja AI Bisa Menyebabkan Burnout?
Olret – Artificial Intelligence (AI) semakin hari semakin dekat dengan kehidupan manusia. Dari fitur rekomendasi di media sosial, chatbot untuk layanan pelanggan, sampai alat otomatisasi di kantor. AI hadir untuk membuat hidup lebih mudah. Namun, di balik semua kemudahan itu, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: AI juga bisa ikut berperan dalam meningkatnya risiko burnout.
Burnout bukan sekadar rasa lelah, tapi kondisi stres kronis yang memengaruhi fisik, mental, dan emosional. Menurut World Health Organization (WHO), burnout termasuk sindrom akibat stres kerja yang tidak berhasil diatasi dengan baik. Nah, bagaimana mungkin sebuah teknologi seperti AI bisa punya andil dalam masalah serius ini? Yuk, kita bahas lebih dalam.
1. Kecepatan Kerja yang “Tidak Manusiawi”
AI dirancang untuk bekerja cepat, presisi, dan tanpa henti. Sistem otomatis bisa memproses ribuan data hanya dalam hitungan detik, sementara manusia butuh waktu lebih lama untuk pekerjaan serupa. Hal ini menimbulkan standar kerja baru: perusahaan mulai menuntut karyawan agar bisa menyesuaikan diri dengan ritme AI.
Akhirnya, pekerja merasa harus terus “ngejar” agar tidak tertinggal. Tekanan inilah yang bisa membuat mereka stres dan rentan mengalami burnout.
2. Hilangnya Batas Antara Waktu Kerja dan Istirahat
Dengan adanya AI, banyak pekerjaan bisa dilakukan kapan saja. Misalnya, notifikasi otomatis, laporan yang dihasilkan mesin, atau perintah tugas berbasis sistem. Dampaknya, karyawan sering merasa harus selalu siap menanggapi pekerjaan bahkan di luar jam kerja.
Menurut riset yang diterbitkan di Journal of Business Research, kemudahan teknologi justru bisa memperpanjang jam kerja tanpa disadari. Inilah yang membuat batas antara waktu kerja dan waktu istirahat semakin kabur, hingga akhirnya memicu kelelahan kronis.
3. Tuntutan Skill Baru yang Terus-Menerus
AI berkembang sangat cepat, dan itu berarti keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja juga berubah dengan cepat. Banyak karyawan merasa harus terus belajar agar tidak tergantikan mesin. Tekanan untuk terus up-to-date inilah yang sering membuat orang kewalahan.
Bayangkan harus bekerja penuh waktu sambil terus mengikuti kursus online atau pelatihan tambahan. Lama-lama, bukannya produktif, justru bisa berakhir dengan burnout.