Dua Dunia, Satu Kamar: Ketika Kejawen Bertemu Sunda Wiwitan di Tanah Pasundan
- Youtube Malam Mencekam
Olret – Di jantung kota Bandung yang metropolitan, tersimpan sebuah kamar kos yang menantang nalar. Selama sepuluh tahun, kamar itu terkunci rapat, diselimuti misteri yang tak terpecahkan.
Hingga akhirnya, Mas Damar, seorang pemuda yang tumbuh dalam tradisi Kejawen, membukanya. Bukan sekadar kamar pengap, ruang itu adalah portal. Sejak pintu terbuka, Mas Damar disambut bayangan hitam dan putih yang melesat, seolah menandakan ia telah melangkah ke ruang yang tak pernah benar-benar kosong.
Anehnya, meski lembap dan berjamur, Mas Damar justru merasa menemukan rumah. Seakan-akan, kamar itu memang telah menantinya.
Persahabatan Lintas Dimensi
Takdir mempertemukan Mas Damar dengan Joko, penghuni kos lain. Joko, yang berwajah bersahaja dan sangat islami, adalah kebalikan Mas Damar, anak dari garis keturunan penganut ilmu leluhur Kejawen. Awalnya minder, Mas Damar tak menyangka perbedaan itu justru merajut persahabatan yang unik.
Joko, seorang indigo dengan kepekaan batin yang tajam, dibuat terkejut. Ia yang bisa merasakan berbagai energi justru tak pernah menyadari keberadaan kamar rahasia itu. "Kamu kosong di mata saya, tidak ada aura. Tapi kenapa cuma kamu yang bisa tahu kamar itu?" tanya Joko, di ambang rasa penasaran yang mendalam. Keduanya menyadari, mereka dipersatukan oleh misteri yang melampaui logika.
Duet Ritual Uang Ghaib: Kejawen Berpadu Bismillah
Puncak pertemuan dua tradisi ini terjadi di tengah kesulitan. Malam itu, lapar dan uang saku habis memaksa keduanya berpikir di luar nalar. Joko, tanpa ragu, mengajak Mas Damar melakukan ritual yang belum pernah terbayangkan: menarik uang ghaib.
Mas Damar, dengan insting Kejawennya, menyiapkan perlengkapan wajib: dupa dan kain hitam. Ia mempersiapkan bantal sebagai media untuk penarikan.
Namun, Joko memiliki jalannya sendiri. Ia mengganti kain hitam dengan kain putih dan mulai duduk bersila, melantunkan doa serta surat-surat dari Al-Qur'an. Puncaknya, dua tradisi berpadu dalam satu suara: keduanya serentak mengucap "Bismillah". Kata itu terasa asing, namun penuh daya di telinga Mas Damar.
Saat kain diangkat, lembaran-lembaran uang seratus ribuan muncul. Jumlahnya tak banyak, tapi cukup—bahkan lebih dari cukup—untuk biaya kuliah, makan, hingga menyantap hidangan mewah di mal keesokan harinya.
Ini adalah perpaduan yang mengguncang. Kejawen dan Islam, tradisi leluhur dan ajaran agama, menyatu dalam sebuah ritual yang membuktikan: persatuan batin lebih kuat dari perbedaan jalan.
Teror Gandok dan Istri Ghaib
Persahabatan mereka tak berhenti di urusan uang. Di tanah Pasundan, yang berakar kuat dengan tradisi Sunda Wiwitan, Mas Damar mulai banyak belajar mengenai titik-titik angker Bandung. Yang paling menonjol adalah Gandok, jembatan di Jalan Siliwangi dekat Sabuga.
Mas Damar, dengan kepekaan Kejawen, selalu melihat ratusan gondoruwo berjejer seperti barisan prajurit saat melintasi sana, memenuhi gedung-gedung kampus di sekitarnya. Joko yang penasaran ikut membuktikan. Di dalam angkot yang sama, keduanya berbagi penglihatan: Mas Damar melalui mata batin Kejawennya, Joko dengan kejernihan batin Islamnya. Dua pandangan, satu realitas ghaib.
Namun, perbedaan tetap ada. Mas Damar terbiasa menyisihkan makanan untuk "saudara tak kasat mata," yang langsung ditegur Joko sebagai pemborosan dalam Islam. Lebih personal lagi, Mas Damar punya "istri ghaib" hasil pernikahan ritual Kejawen, yang kehadirannya kadang ditandai aroma wangi tiba-tiba. Joko, meski terkejut, menerimanya tanpa menghakimi.
“Kita berjodoh untuk saling melengkapi,” ujar Joko, merangkum inti persahabatan mereka.
Jembatan Bukan Jurang
Kisah ini jauh melampaui soal penarikan uang ghaib. Perjumpaan antara anak Kejawen dari Jawa dan anak indigo muslim dari Kudus di tanah Pasundan adalah sebuah eksperimen spiritual yang langka. Dua jalur berbeda bertemu, bukan untuk saling meniadakan, tapi untuk saling memahami dan melengkapi.
Mas Damar yang semula minder karena bukan seorang muslim, justru menemukan persaudaraan sejati dan ikatan batin yang memungkinkan mereka berkomunikasi tanpa kata.
Kisah mereka adalah narasi tentang persahabatan lintas keyakinan, tentang mencari makna di tengah percampuran tradisi, dan tentang bagaimana dunia nyata dan ghaib, Kejawen dan nuansa Sunda Wiwitan, bertemu dalam diri anak muda yang sedang mencari arah.
"Mungkin memang jalan hidup saya untuk jadi saksi," tutup Mas Damar, "bahwa dunia ghaib itu nyata, dan bahwa perbedaan bisa jadi jembatan, bukan jurang.”
Kisah ini mengajak kita merenung: sejauh mana batas antara keyakinan dan tradisi bisa menyatukan kita? Tonton versi lengkap ceritanya di Youtube Malam Mencekam.