Jurus Jitu Raditya Dika: Mengubah 'Mood' Jadi Cuan dan Kekuatan di Balik Karya Jelek
- Youtube suara berkelas
Olret – Siapa sangka, di balik kesuksesan seorang Raditya Dika—penulis, komedian, sutradara, sekaligus kreator konten—terdapat serangkaian mindset yang justru bertentangan dengan mitos umum industri kreatif.
Dalam sebuah wawancara mendalam di akun Youtube Suara Berkelas , Dika membongkar rahasianya: mulai dari menolak bergantung pada mood hingga strategi keuangan yang menjadikannya seorang "seniman berjiwa financial."
1. Menghancurkan Mitos "Kerja Berdasarkan Mood"
Industri kreatif sering dianggap sebagai profesi yang "bebas" dan mengandalkan suasana hati atau mood. Raditya Dika menolak mentah-mentah stigma ini.
"Kalau jadi penulis, enggak boleh cengeng," ujar Dika mengutip nasihat gurunya.
Baginya, mood hanyalah alasan yang paling mudah dan aman untuk menyalahkan kemalasan. Dengan menepis ketergantungan pada mood, ia bisa menulis di mana saja—di dalam mobil, di bioskop, bahkan di secarik tisu—membuktikan bahwa produktivitas harus dikuasai, bukan dikendalikan.
Kekuatan Karya Jelek
Paradoks lain yang ia pegang teguh adalah: karya yang jelek itu penting.
- Satu halaman tulisan yang jelek lebih baik daripada nol halaman.
- Karya yang jelek bisa diperbaiki, sementara ketiadaan karya adalah nol yang abadi.
Menurutnya, memiliki keberanian untuk menghasilkan sesuatu yang pasti jelek di awal adalah sebuah keahlian (skill) yang krusial bagi setiap pekerja kreatif. Ini adalah langkah pertama menuju penyempurnaan.
2. 'Development' adalah Raja dan Seni Menerima Kritik
Bagi Dika, ada satu tahapan yang paling krusial dari semua proses kreatif, bahkan lebih penting dari eksekusi itu sendiri: Development.
Development adalah proses pengembangan ide secara kolektif. Dika melakukannya untuk semua karyanya, mulai dari buku, film, hingga materi stand-up comedy.
Ia melibatkan developer yang bertugas membabat habis semua idenya, memastikan ide tersebut dikerjakan bersama (dikeroyok rame-rame).
Keterampilan yang paling sulit, namun paling wajib dikuasai dalam tahapan development adalah menerima kritik. Seniman yang menganggap karyanya sebagai "bayi yang tak boleh disakiti" justru akan terperosok. Dika berpendapat, jika sebuah ide tidak bersedia dikritik, ide itu tidak akan pernah berkembang.