Menjemput Harapan di Tepian Sungai Rawas: Catatan Perjalanan Arsal Bahtiar dan Andrew Kalaweit

Tepian Sungai Rawas
Sumber :
  • thethao247.vn

Olret –  Dalam setiap perjalanan, destinasi hanyalah titik akhir. Cerita yang sesungguhnya seringkali terselip di antara debu jalanan, deru mesin perahu yang terbatuk, dan senyum tulus warga yang jarang tersentuh kamera.

Redmi Note 15 5G Mulai Terkuak: Layar AMOLED Lengkung 120Hz, Terang 3200 Nits, Rilis Januari 2026?

Agustus lalu, fotografer Arsal Bahtiar bersama aktivis lingkungan Andrew Kalaweit menembus jantung Sumatera Selatan. Bukan sekadar untuk menikmati alam, melainkan untuk sebuah misi bertajuk "Langkah Berdampak".

Awal yang Tak Terduga

Oppo Find X9 Ultra Dikabarkan Usung Kamera Ganda 200MP, Siap Salip Vivo X300 Ultra di Awal 2026

Perjalanan dimulai dari Lubuk Linggau menuju Kabupaten Musi Rawas Utara. Namun, pedalaman Sumatera punya caranya sendiri untuk menguji kesabaran. Di tengah jalan lintas, sebuah truk pengangkut alat berat mogok, menutup akses.

Tak berhenti di situ, drama berlanjut saat drone milik Andrew Kalaweit menghantam ranting dan tenggelam di sungai. Di momen ini, keajaiban muncul melalui kebaikan warga lokal yang bahu-membahu menyelamatkan "mata terbang" tersebut hingga berhasil ditemukan kembali.

Xiaomi 17 Ultra Digadang Jadi Mahakarya Awal 2026, Siap Menggoyang Dominasi iPhone dan Samsung

"Dalam sebuah perjalanan, tidak melulu soal destinasi. Banyak cerita menarik yang justru terjadi di perjalanannya... semua itu bagian dari proses yang jarang dilihat orang." — Arsal Bahtiar.

Batu Tulis: Nafas di Tepian Sungai

Setelah menempuh jalur sungai menggunakan perahu kecil yang sempat mengalami patah as, tim tiba di Desa Batu Tulis. Di sini, Sungai Rawas bukan sekadar air yang mengalir, melainkan nadi kehidupan.

Warga setempat, termasuk ibu-ibu, menghabiskan hari dengan mendulang butiran emas. Dengan sabar, mereka mengumpulkan miligram demi miligram untuk kemudian dijual demi menyambung hidup. Hidup di sini sederhana, sunyi, namun penuh dengan rasa syukur yang mendalam.

Napalicin: Kabut dan Semangat Kemerdekaan

Etape berikutnya membawa tim ke Desa Napalicin. Terletak di bawah perbukitan hijau yang sering diselimuti kabut tipis, desa ini menawarkan pemandangan yang magis. Di momen kemerdekaan, tim bersama anak-anak desa melakukan upacara bendera sederhana di depan rumah panggung kayu.

Melihat anak-anak berseragam merah-putih memberi hormat pada sang saka di tengah keterbatasan akses, menjadi pengingat bahwa semangat kebangsaan tak pernah luntur oleh jarak.

Jembatan Ber-KAF: Menyambung Mimpi yang Terputus

Puncak dari ekspedisi ini adalah di Desa Muara Kuis. Sejak jembatan utama hancur akibat banjir besar, kehidupan warga seolah terisolasi.

Anak-anak harus membayar Rp10.000 setiap hari untuk pulang-pergi sekolah naik perahu—biaya yang berat bagi banyak orang tua di sana. Bahkan, beberapa warga nekat menyeberang dengan bergelantungan di sisa jembatan yang rusak parah demi mencapai fasilitas kesehatan.

Kehadiran Jembatan Ber-KAF, hasil kolaborasi Sahabat Pedalaman dan Paragon, menjadi jawaban atas doa-doa mereka. Jembatan sepanjang lebih dari 100 meter ini kini kokoh berdiri, menghubungkan kembali akses pendidikan dan ekonomi.

"Saya bahagia karena bisa melewati jembatan sekolah, tidak naik perahu lagi. Senang terus bisa sekolah..." — Seorang anak sekolah di Muara Kuis.

Penutup

Ekspedisi ini membuktikan bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika akses kesehatan dan pendidikan bukan lagi sebuah kemewahan. Melalui langkah kecil yang berdampak, jembatan yang dibangun bukan sekadar beton dan baja, melainkan penghubung bagi mimpi-mimpi anak pedalaman untuk terus tumbuh.

Sumatera Selatan mungkin jauh dari hiruk-pikuk kota besar, namun di sana, harapan baru saja menemukan jalannya kembali.