Kisah Nyata: Curhatan Seorang Guru yang Jauh dari Kata Mapan

Guru yang mengajar
Sumber :
  • U-Repot

Itu adalah bagian dukanya. Bagian sukanya adalah saat aku didatangi oleh muridku yang telah lulus sambil membawa sekotak besar kue yang diberikan khusus untukku. Bukan kuenya yang membuatku berkesan, tapi dia mengingatku padahal aku tidak mengingatnya. Dia lulus dua tahun lalu tapi masih mengingatku.

Ceritanya saat itu aku pergi dinner dengan rekan-rekanku di sebuah mall di kawasan GBK setelah menyelesaikan hari kedua workshop tentang gizi remaja dan dewasa dari kementrian kesehatan RI.

Kami bosan dengan makanan yang disajikan hotel sehingga memilih makan di luar. Saat itu katanya dia melihatku dan langsung mempersiapkan sebuah kue yang sudah dia buat untuk dijual di toko kue tempat dia bekerja tapi karena dia melihatku maka dia langsung berniat memberikan kue itu padaku.

Oooh.. aku terharu. Terima kasih, sayang..

Sebenarnya masih banyak lagi yang aku alami selama tiga tahun menjadi guru tapi aku rasa pengalamanku menjadi guru masih tidak ada apa-apanya tetapi setidaknya aku pernah mengalami itu semua. Aku pernah menjadi wali kelas untuk siswa autis dan ADHD, anak broken home, yatim, yatim piatu, dan anak dari kalangan ekonomi sangat rendah.

Satu hal yang aku syukuri, bahwa semua ilmu aku yang dapatkan selama kuliah di Pendidikan Tata Boga UNJ tidak terbuang sia-sia. Aku bisa menerapkan ilmu mikrobiologi, ilmu gizi, ilmu pengolahan aneka makanan, ilmu komunikasi, ilmu kependidikan, dan ilmu psikologi. Bahkan aku harus belajar lebih dalam lagi tentang ilmu pendidikan, ilmu menjadi guru, ilmu psikologi baik itu psikologi anak, psikologi pendidikan, maupun manajemen psikologi pribadi.

Intinya, guru bukanlah makhluk sempurna, guru juga manusia biasa seperti kalian.

Bolehkah aku titip pesan pada pemerintah?

Kalo menteri kesehatan harus wajib dari lulusan dokter, maka menteri pendidikan dan wakilnya juga wajib harus dari kalangan pendidik. Mereka harus punya gelar S.Pd (B.Ed), M.Pd, PhD. Ed, yang semuanya sebidang (bidang pendidikan) tanpa melenceng atau alih program ke master bisnis atau doctor bidang ekonomi dan sebagainya. Itu semua agar pendidikan di Indonesia dapat bangkit dan pemerataan pendidikan tidak hanya dijadikan sebagai wacana dalam sebuah surat kabar semata serta kesejahteraan guru dapat ditingkatkan.