Utilitarianisme dalam Filsafat Hukum: Konsep Kemanfaatan sebagai Dasar Pembentukan dan Penilaian Hukum

Filsafat Hukum
Sumber :
  • https://thumb.viva.id/vivawisata/1265x711/2024/04/17/661f9a38d1b71-para-filsuf-yunani-dan-romawi-kuno_wisata.jpg

Olret –Perkembangan pemikiran filsafat hukum senantiasa berjalan seiring dengan dinamika sosial dan kebutuhan zamannya. Dialektika pemikiran melahirkan berbagai aliran hukum yang masing-masing memiliki cara pandang tersendiri terhadap hakikat, tujuan, dan fungsi hukum. Kaidah-kaidah hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil refleksi pemikiran individu maupun kelompok yang berusaha menjawab persoalan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam khazanah filsafat hukum dikenal berbagai aliran seperti hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme, realisme hukum, sociological jurisprudence, dan mazhab sejarah. Munculnya aliran-aliran tersebut merupakan bentuk respons kritis terhadap aliran sebelumnya maupun terhadap perubahan sosial yang terjadi. Utilitarianisme menempati posisi penting karena menempatkan kemanfaatan dan kebahagiaan sebagai tujuan utama hukum, sehingga hukum dinilai dari sejauh mana ia mampu mengurangi penderitaan dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, pemahaman terhadap utilitarianisme menjadi penting dalam menelaah orientasi hukum modern.

Pengertian dan Dasar Pemikiran Utilitarianisme

 

Utilitarianisme merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat hukum yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. Aliran ini berpijak pada pandangan bahwa hukum tidak cukup dinilai dari segi kepastian normatif atau keabsahan formal semata, melainkan harus dilihat dari dampak nyata yang ditimbulkannya bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, hukum dianggap bernilai apabila mampu meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan mengurangi penderitaan dalam masyarakat.

 

Utilitarianisme berkembang sebagai reaksi terhadap aliran hukum alam yang dianggap terlalu abstrak dan metafisis. Para pemikir utilitarian menolak gagasan bahwa hukum bersumber dari prinsip-prinsip universal yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sebaliknya, utilitarianisme menekankan pendekatan rasional dan pengalaman empiris dalam menilai keberlakuan hukum. Dalam konteks ini, hukum dipahami sebagai sarana sosial yang harus mampu menjawab kebutuhan konkret masyarakat.

 

Prinsip utama utilitarianisme menegaskan bahwa ukuran baik atau buruknya hukum ditentukan oleh sejauh mana hukum tersebut memberikan manfaat bagi manusia. Kemanfaatan tersebut diartikan sebagai kebahagiaan, kepuasan, dan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, utilitarianisme tidak mempersoalkan asal-usul norma hukum, melainkan lebih menekankan pada konsekuensi penerapannya dalam realitas sosial.

 

Utilitarianisme Menurut Jeremy Bentham

 

Jeremy Bentham merupakan tokoh sentral dalam aliran utilitarianisme yang secara sistematis merumuskan prinsip kemanfaatan dalam hukum dan moral. Pemikiran Bentham lahir dalam konteks sosial Inggris pada akhir abad ke-18 yang ditandai oleh ketimpangan sosial, sistem hukum yang diskriminatif, serta minimnya perlindungan terhadap kelompok masyarakat lemah. Kondisi tersebut mendorong Bentham untuk mengkritik keras sistem hukum yang berlaku dan menawarkan konsep hukum yang lebih rasional dan berorientasi pada kesejahteraan manusia.

 

Bentham berpendapat bahwa kesenangan merupakan sesuatu yang baik, sedangkan penderitaan merupakan sesuatu yang buruk. Atas dasar ini, ia merumuskan prinsip the greatest happiness of the greatest number, yang menegaskan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Hukum tidak boleh melayani kepentingan segelintir elite, melainkan harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.

 

Untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijakan hukum membawa kebahagiaan atau penderitaan, Bentham mengembangkan kalkulus hedonistik. Melalui kalkulus ini, kesenangan dan penderitaan dapat diukur berdasarkan intensitas, durasi, kepastian, dan dampaknya bagi orang lain. Pemikiran Bentham menempatkan hukum sebagai alat rasional yang secara sadar dirancang oleh negara guna mencapai tujuan sosial berupa kebahagiaan dan keamanan masyarakat.

 

Utilitarianisme Menurut John Stuart Mill

 

John Stuart Mill melanjutkan sekaligus mengoreksi pemikiran Jeremy Bentham dengan memberikan kedalaman filosofis yang lebih besar terhadap konsep kebahagiaan. Mill menilai bahwa pandangan Bentham terlalu menyederhanakan kebahagiaan dengan menilainya secara kuantitatif semata. Menurut Mill, kualitas kebahagiaan juga harus diperhitungkan, karena tidak semua kesenangan memiliki nilai yang sama.

 

Mill membedakan antara kesenangan yang bersifat rendah dan kesenangan yang bersifat tinggi. Kesenangan intelektual, moral, dan spiritual dianggap lebih bernilai dibandingkan kesenangan fisik semata. Pandangan ini memberikan dimensi etis yang lebih kaya dalam utilitarianisme, karena hukum tidak hanya diarahkan untuk memaksimalkan kesenangan, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

 

Dalam konteks hukum, Mill menekankan pentingnya keadilan sebagai bagian integral dari kemanfaatan. Ia berpendapat bahwa keadilan tidak bertentangan dengan utilitarianisme, melainkan merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan umum. Hukum yang adil adalah hukum yang melindungi hak-hak individu sekaligus menjamin kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan.

 

Utilitarianisme Menurut Rudolf von Jhering

 

Rudolf von Jhering mengembangkan utilitarianisme dalam bentuk yang lebih sosiologis dengan menekankan kepentingan sebagai inti dari hukum. Berbeda dengan Bentham dan Mill yang lebih menekankan aspek moral, Jhering memusatkan perhatian pada fungsi sosial hukum. Menurutnya, hukum tidak lahir secara spontan dari kesadaran kolektif masyarakat, melainkan dibentuk secara sadar untuk melindungi dan menata kepentingan-kepentingan sosial.

 

Jhering berpandangan bahwa setiap norma hukum memiliki tujuan praktis, yaitu menciptakan keteraturan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukum harus dipahami sebagai instrumen yang sengaja dirancang oleh negara untuk mengarahkan perilaku manusia. Dalam pandangan ini, hukum memiliki dimensi teleologis, yakni selalu berorientasi pada tujuan tertentu yang ingin dicapai.

 

Pemikiran Jhering menegaskan bahwa hukum bertugas menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Kebebasan individu tetap diakui, tetapi harus dibatasi agar tidak merugikan orang lain. Dengan demikian, hukum berfungsi sebagai mekanisme pengorganisasian kepentingan agar tercipta kehidupan sosial yang harmonis.

 

Kelebihan dan Kritik terhadap Aliran Utilitarianisme

 

Utilitarianisme memiliki keunggulan karena menawarkan ukuran yang rasional dan konkret dalam menilai hukum. Dengan berfokus pada akibat hukum, aliran ini memberikan pedoman praktis bagi pembentuk undang-undang dan penegak hukum untuk merancang kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Utilitarianisme juga bersifat universal karena mempertimbangkan kebahagiaan semua pihak yang terdampak, bukan hanya kepentingan individu atau kelompok tertentu.

 

Namun demikian, utilitarianisme juga menghadapi berbagai kritik. Salah satu kritik utama adalah potensi pengabaian terhadap hak-hak individu dan kelompok minoritas demi kepentingan mayoritas. Dalam kondisi tertentu, prinsip kebahagiaan terbesar dapat digunakan untuk membenarkan ketidakadilan terhadap pihak tertentu. Selain itu, kebahagiaan dan penderitaan tidak selalu dapat diukur secara objektif, sehingga penerapan utilitarianisme dalam hukum sering kali menghadapi kesulitan praktis.

 

Oleh karena itu, utilitarianisme perlu dipahami secara kritis dan dikombinasikan dengan prinsip-prinsip hukum lain seperti keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Relevansi Utilitarianisme dalam Hukum Modern

 

Dalam perkembangan hukum modern, utilitarianisme tetap memiliki relevansi yang kuat, terutama dalam perumusan kebijakan publik dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Prinsip kemanfaatan sering digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menilai efektivitas suatu kebijakan hukum, khususnya dalam bidang kesejahteraan sosial, ekonomi, dan hukum pidana.

 

 

Utilitarianisme mendorong hukum agar tidak terjebak pada formalitas normatif semata, tetapi lebih peka terhadap kebutuhan dan penderitaan masyarakat. Dengan pendekatan ini, hukum diharapkan mampu berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial yang efektif dan responsif. Dalam konteks negara hukum modern, utilitarianisme memberikan kontribusi penting dalam mengarahkan hukum agar tetap berorientasi pada kesejahteraan manusia, tanpa mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.