Bahaya Memendam Amarah Yang Bisa Ganggu Kesehatan Tubuh dan Mental
- Freepik.com
Olret – Kamu sedang menghadapi hari yang melelahkan. Pekerjaan rumah menumpuk, anak rewel, pasangan datang tanpa membantu, dan kamu ingin marah. Tapi kamu memilih diam. Berpikir, "Daripada ribut, mending tahan saja."
Terdengar familiar? Menahan amarah memang terlihat bijak. Tapi di balik ketenangan semu itu, tubuh dan pikiranmu bisa jadi sedang berteriak. Dan ini bukan sekadar perasaan tidak nyaman melainkan potensi awal dari berbagai gangguan kesehatan, baik mental maupun fisik.
Marah Itu Manusiawi, Menahannya Terus-Menerus Itu Masalah
Marah bukanlah emosi negatif yang harus ditekan. Ia adalah sinyal alami dari tubuh saat ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun banyak orang, terutama perempuan, terbiasa "memendam" demi menjaga hubungan, menghindari konflik, atau karena takut dianggap emosional.
Sayangnya, menahan marah tidak membuatnya hilang. Ia mengendap, menumpuk, dan suatu hari bisa meledak dalam bentuk yang jauh lebih merusak.
Apa yang Terjadi di Dalam Tubuh Saat Amarah Dipendam?
Secara biologis, marah memicu respons stres. Hormon kortisol dan adrenalin meningkat. Detak jantung dan tekanan darah naik. Ini adalah respons “fight or flight” alami tubuh.
Namun ketika amarah tidak dilepaskan atau dikelola, tubuh tetap berada dalam kondisi waspada. Akibatnya, sistem saraf menjadi tegang terus-menerus, dan ini sangat membebani organ vital seperti jantung, otak, dan sistem imun.
Studi dari Psychosomatic Medicine (2002) menemukan bahwa individu yang menekan kemarahan secara rutin memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi terkena penyakit jantung. Sementara itu, jurnal Behavioral Medicine (2013) mengaitkan perilaku menahan marah dengan peningkatan gejala depresi, kecemasan, dan insomnia.
Dampak Psikologis
Memendam amarah dapat menciptakan ketegangan psikologis yang terus menumpuk. Mungkin kamu tidak menyadari, tapi lama-kelamaan hal ini bisa membuatmu:
- Merasa sensitif dan mudah tersinggung
- Kesulitan mempercayai orang lain
- Merasa tidak dipahami, tidak dihargai
- Menjadi pasif-agresif dalam hubungan
Jika terus berlanjut, kondisi ini dapat berkembang menjadi burnout emosional atau bahkan gangguan depresi.
Dampak Fisik
Tubuh menyimpan emosi yang tidak tuntas. Dan saat marah dipendam terlalu lama, gejalanya bisa muncul dalam berbagai bentuk:
- Sakit kepala berulang
- Gangguan lambung seperti maag atau GERD
- Nyeri otot dan ketegangan leher
- Daya tahan tubuh menurun
- Risiko stroke meningkat, sebagaimana disebutkan dalam laporan American Heart Association
Ini bukan sugesti, melainkan hasil nyata dari tekanan fisiologis akibat stres emosional kronis.
Mengelola Amarah dengan Cara yang Sehat
Menghindari ledakan emosi bukan berarti harus menelan semuanya mentah-mentah. Ada cara lebih sehat untuk memproses dan menyalurkan amarah:
Sadari pemicu emosimu
Tubuh biasanya memberi sinyal: napas lebih cepat, dada sesak, pikiran mulai kacau. Kenali lebih awal.
Jeda sejenak
Saat emosi memuncak, ambil waktu beberapa menit untuk menjauh. Tarik napas dalam. Jangan langsung merespons dalam keadaan marah.
Ungkapkan dengan kalimat yang tepat
Gunakan pernyataan "aku merasa..." daripada "kamu selalu...". Ini akan mengurangi konflik dan meningkatkan pemahaman.
Tulis jurnal harian
Menulis pikiran dan perasaan membantu mengurai emosi yang membebani pikiran.
Cari pelampiasan positif
Olahraga, meditasi, menggambar, atau aktivitas fisik lain bisa menyalurkan energi marah dengan cara produktif.
Konsultasikan ke profesional jika perlu
Konselor atau psikolog dapat membantumu memahami akar amarah dan bagaimana mengelolanya dengan tepat.
Memendam amarah bukan tanda kekuatan. Justru, keberanian untuk menghadapi dan mengelola amarah secara sehat adalah bentuk cinta terhadap diri sendiri. Karena setiap emosi yang dipendam hari ini, bisa menjadi luka yang dalam di masa depan.
Tubuh dan jiwamu layak untuk hidup dengan damai. Bukan dengan menekan, tapi dengan memproses dan merespons emosi secara bijak.