Mukjizat 72 Jam di Bawah Reruntuhan: Kisah Alfatih, Santri yang Selamat Setelah Tertimpa Beton di Pesantren Al-Khoziny
- Youtube
Olret – Kisah pilu bercampur haru datang dari musibah ambruknya musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Di tengah duka mendalam atas korban yang berjatuhan, terselip cerita mukjizat yang dialami oleh seorang santri bernama Alfatih Cakra Buana.
Ayah Alfatih, seorang kiai sekaligus pengasuh pondok pesantren di Bangkalan, membagikan kisahnya secara emosional. Ia mengungkap detik-detik mencekam saat sang anak, bersama lima santri lainnya, bertahan hidup selama tiga hari penuh (72 jam) di bawah himpitan beton tanpa makan dan minum.
Pencarian Penuh Harap dan Kiat Bertahan Hidup
Mukjizat 72 Jam di Bawah Reruntuhan
- Youtube
Saat kabar musala ambruk datang, sang ayah langsung bergegas ke lokasi. Di tengah tumpukan puing, ia terus berdoa agar anaknya sedang mencuci baju atau izin keluar pondok—sebuah harapan agar Alfatih tidak ikut menjadi korban. Namun, seiring waktu berjalan, keyakinannya berubah: Alfatih pasti tertimbun.
Di hari kedua, Tim SAR menggunakan alat canggih pendeteksi suhu tubuh dan mengonfirmasi bahwa enam nyawa masih bertahan di bawah reruntuhan. Sang ayah, tanpa ragu, mendesak Tim SAR untuk menyelamatkan keenam santri tersebut tanpa mempedulikan apakah Alfatih ada di antara mereka.
"Ya Allah, Ki, sampean wis tenang. Sekarang Alfatih sudah ada di rumah sakit, saya barusan ngeluarkan," kata seorang anggota Tim SAR yang datang kepadanya pada malam ketiga.
Alfatih berhasil diselamatkan setelah melewati batas golden time manusia untuk bertahan tanpa asupan. Ia hanya mengalami luka lecet, dan permintaan pertamanya: es batu karena haus yang teramat sangat.
Rahasianya? Alfatih ternyata menerapkan kiat bertahan hidup yang ia tonton di YouTube: tidak banyak bicara dan bergerak untuk menghemat energi. Saat temannya berteriak minta tolong, Alfatih menenangkannya: "Sudah, diam saja. Pasti ada yang menolong."
Keikhlasan Keluarga dan Makna Syahid
Di balik kebahagiaan atas keselamatan Alfatih, ada duka mendalam bagi santri yang wafat, termasuk sahabat Alfatih, Haikal.
Meskipun demikian, keluarga korban menunjukkan tingkat keikhlasan yang luar biasa. Ayah Alfatih meyakini bahwa santri yang wafat adalah Syahid berlipat ganda (double syahid)—syahid karena meninggal tertimpa reruntuhan dan syahid karena meninggal dalam keadaan menuntut ilmu atau beribadah.