7 Prinsip Emas Investasi ala Timothy Ronald: Belajar dari 11 Tahun Pengalaman

Timothy Ronald
Sumber :
  • Youtube Timothy Ronald

Olret – Banyak orang menganggap investasi adalah ilmu rumit yang hanya bisa dikuasai oleh segelintir orang jenius. Namun, seorang investor muda yang namanya kian melambung, Timothy Ronald, memiliki pandangan berbeda.

Skandal Roti Gluten-Free Palsu: Bayi 17 Bulan Nyaris Celaka, Korban Kanker Merugi!

Melalui 11 tahun pengalamannya, ia membuktikan bahwa investasi adalah sebuah keterampilan yang bisa dipelajari, bahkan dari nol.

Timothy memulai perjalanannya bukan dari ruang trading mewah, melainkan dari jalanan. Ia menjual berbagai barang, mulai dari minyak rambut, sedotan, hingga menjadi wedding organizer, semua demi satu tujuan: mengumpulkan modal untuk berinvestasi.

Strategi Dagang "Silent Killer" China: 5 Rahasia Bikin Kaya Diam-Diam!

Terinspirasi oleh Warren Buffett, ia menyadari bahwa ia tidak ingin mengelola perusahaan dengan ratusan karyawan, melainkan ingin memiliki sebagian kecil dari perusahaan-perusahaan besar yang sukses.

Dari filosofi sederhana ini, ia merangkum pengalamannya menjadi tujuh prinsip investasi yang ia yakini bisa mengubah hidup siapa pun.

7 Tanda Peringatan Dini PHK di Perusahaan yang Perlu Kamu Waspadai

1. Lihat Saham sebagai Bisnis, Bukan Grafik

Bagi Timothy, kesalahan terbesar investor pemula adalah melihat saham sebagai deretan angka yang naik-turun di layar. Ia belajar dari Benjamin Graham bahwa saham adalah kepemilikan sebagian kecil dari sebuah bisnis.

Ia menganalisis saham berdasarkan model bisnis, laba bersih, dan pertumbuhan, bukan dari harga historisnya. Baginya, berinvestasi Rp 400.000 di saham sama seriusnya dengan berinvestasi ratusan miliar di perusahaan swasta.

2. Beli Apa yang Anda Mengerti

Prinsip ini sangat mendasar namun sering diabaikan. Timothy mengingatkan bahwa banyak orang kehilangan uang karena membeli aset, baik saham maupun kripto, hanya karena ikut-ikutan.

Ia menekankan pentingnya memahami fundamental dari aset yang akan kita miliki. Jika Anda tidak bisa menjelaskan mengapa aset itu layak dibeli kepada seorang anak SD, maka Anda tidak seharusnya membelinya.

3. Terapkan Konsep Margin of Safety

Timothy mengilustrasikan prinsip ini dengan analogi yang kuat: mengendarai truk melewati jembatan. Jika truk Anda berbobot 16 ton, Anda harus memilih jembatan yang kapasitasnya jauh lebih besar, misalnya 100 ton.

Ini adalah antisipasi terhadap kesalahan perhitungan. Dalam investasi, Margin of Safety adalah membeli aset yang nilainya jauh lebih rendah dari nilai intrinsiknya. Contohnya, saat Timothy membeli Bitcoin seharga $16.000, ia yakin nilai intrinsiknya adalah $100.000, menciptakan ruang aman yang sangat besar.

4. Fokus pada Compounding Jangka Panjang

Alih-alih berspekulasi jangka pendek, Timothy lebih memilih strategi jangka panjang. Ia tidak menyentuh posisi sahamnya seperti Coca-Cola dan American Express selama puluhan tahun.

Ia membiarkan dividennya diinvestasikan kembali, membiarkan efek Compounding bekerja layaknya bola salju yang terus bergulir dan membesar seiring waktu.

5. Hindari Kebodohan daripada Mencari Jenius

Ini adalah salah satu prinsip yang paling menarik dan counter-intuitive. Timothy lebih memilih untuk menghindari kerugian daripada mencoba mengejar keuntungan besar dari hal yang tidak ia pahami.

Ia rela melewatkan tren yang sedang ramai, seperti proyek AI, jika ia tidak menguasai bisnis di baliknya. Baginya, menjaga modal lebih penting daripada mencoba membuktikan diri sebagai investor jenius.

6. Pilih yang Sederhana, Bukan yang Kompleks

Seperti yang diajarkan oleh Charlie Munger, investasi yang baik itu sederhana. Ia berpendapat bahwa seorang investor tidak perlu memiliki banyak posisi.

Cukup beberapa aset yang kuat, dan itu sudah bisa mengubah hidup. Jika sebuah investasi terlalu rumit untuk dijelaskan, itu pertanda buruk.

7. Bersikap Dinamis dan Siap Berubah Pikiran

Pasar selalu berubah, dan investor harus bisa beradaptasi. Timothy belajar dari Howard Marks bahwa investasi adalah seni yang dinamis. Seorang investor harus bersedia mengubah pandangannya jika ada informasi baru, skandal, atau perubahan teknologi.

Ia mencontohkan kegagalan Warren Buffett dalam membeli perusahaan tekstil, Berkshire Hathaway, yang ironisnya menjadi nama perusahaan holding-nya, sebagai pengingat abadi bahwa bahkan investor terbaik pun bisa salah.