Part 1 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatra Selatan

Teror Gunung Dempo
Sumber :
  • Youtube

"Aku sholat magrib dulu Nes, Yun." Kataku.

Anes menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Iya Pin, aku disini nemenin Yuni. Dia haids ternyata."

"Tadi ngga?" Balasku.

"Baru banget dapet." Kali ini Yuni yang menjawab tanpa menoleh ke arahku.

Akhirnya kami berempat sholat magrib berjamaah, sedang Yuni dan Anes berbeda keyakinan. Selesai sholat bersamaan nasi matang. Tapi baru saja kami bersiap untuk makan, tiba-tiba gerimis disertai angin kencang yang disusul oleh badai menerjang. Kami semua langsung buru-buru masuk tenda. Rasa lapar sudah tak terpikirkan lagi.

Hujan besar dan angin kencang seakan berniat ingin merubuhkan tenda kami. Frame tenda terdengar bergemeretak menahan tekanan badai. Kain tenda yang lepas dari pasaknya berkibar-kibar menghasilkan suara yang menciutkan nyali. Aku melihat satu persatu wajah pucat pasi teman-temanku. Ini adalah pengalaman pertama kami dihantam badai dahsyat di atas gunung. Nyaliku turun hingga titik terendah, apalagi tidak ada orang lain di gunung ini selain kami.

Yang paling kutakutkan adalah jika tenda kami diterbangkan badai, karena kurasakan semakin lama tiupan angin malah semakin kencang.

Aku lalu berinisiatif keluar untuk mengecek dan mengencangkan pasak-pasak tenda. Bang Amran ikut keluar bersamaku. Masing-masing kami memegang sebuah senter karena gelap sudah mulai turun.

Baru saja menyembulkan kepalaku keluar tenda, hujan dan angin langsung menampar wajahku. Aku gelagapan mencoba bernafas. Angin yang terlalu kencang membuatku kesulitan menghirup udara.

Tapi selain badai angin ini ada suara lain yang menarik perhatianku dan Bang Amran. Suara itu hilang timbul di antara desingan suara angin badai, namun yang jelas intensitasnya semakin meningkat. Suara itu bagaikan berasal dari dalam tanah, rasanya aku juga bisa merasakan getaran di bawah kakiku.

Lalu mataku melihat sesuatu yang paling mengerikan yang pernah kulihat. Bang Amran juga tampak membelalak seakan tak mempercayai penglihatannya. Sekian detik, kaki kami berdua seakan tertancap ke tanah tak mampu digerakkan.

Lalu saat kesadaranku pulih, sekuat tenaga aku berteriak pada teman-teman di dalam tenda.