Pendidikan Kedinasan dan Tantangan Melahirkan Birokrat Masa Depan

Ence Sopyan, S.Sos., M.A.P., Dosen & Koor. Eksekutif PRIMANURA.
Sumber :
  • Olret/ES

Mutu Aparatur di Era Reformasi ASN

Mutu aparatur negara seyogyanya tidak hanya diukur dari adanya dikotomi antar pendidikan satu dengan yang lainnya. PermenPANRB No. 38/2017 menegaskan bahwa ASN harus memiliki tiga rumpun kompetensi yakni teknis, manajerial, dan sosial-kultural.

Sementara itu, UU No. 20/2023 tentang ASN menggarisbawahi asas meritokrasi, yang mewajibkan rekrutmen, promosi, dan pengembangan karier berbasis kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.

Sebelum dibubarkan, KASN (2023) pernah menunjukkan implementasi merit system yang masih jauh dari konsisten. Banyak instansi pemerintah belum sepenuhnya menerapkan sistem berbasis kompetensi, sehingga lulusan pendidikan kedinasan yang berkualitas pun mempunyai potensi masuk dalam sistem birokrasi dengan budaya kerja yang feodal, kurang transparan, dan minim inovasi.

Dalam perspektif New Public Management, birokrasi modern seharusnya menekankan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Konsep Value for Money (Hughes, 2018) juga menegaskan bahwa setiap rupiah anggaran publik harus dipertanggungjawabkan berdasarkan asas ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.

Dengan demikian, mismatch antara biaya pendidikan kedinasan dan output birokrasi memperlihatkan bahwa investasi belum memberikan value yang setara dengan dana yang digelontorkan.

Dwiyanto (2021) menegaskan bahwa profesionalisme aparatur tidak hanya lahir dari pendidikan, melainkan juga ditentukan oleh sistem merit, budaya organisasi, dan mekanisme akuntabilitas publik.

Kondisi ini dapat dijelaskan melalui konsep bureaucratic accountability yang menegaskan bahwa inti dari mutu birokrasi bukan hanya terletak pada kapasitas teknis yang diperoleh melalui pendidikan, tetapi pada mekanisme akuntabilitas yang melekat dalam sistem.

Aparatur yang berpendidikan tinggi sekalipun akan cenderung gagal memenuhi ekspektasi publik jika tidak terikat pada instrumen akuntabilitas yang jelas, siapa yang harus dipertanggungjawabkan, kepada siapa, dan melalui mekanisme apa.

Secara teoritis, reformasi birokrasi hari ini perlu menambah kompetensi modern yang berjalan bersama dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kerangka Algorithmic State Architecture (ASA) memandang bahwa birokrasi modern harus terintegrasi secara sistemik dari infrastruktur digital hingga algoritma pengambilan keputusan untuk menjaga efisiensi dan responsivitas dalam pelayanan publik.

Selain itu, tantangan penggunaan teknologi AI oleh birokrat menuntut kerangka adaptive governance, yakni mekanisme regulasi yang fleksibel, responsif terhadap risiko, dan melibatkan multi-aktor dalam pengambilan keputusan teknologi baru. Tanpa kerangka ini, investasi pendidikan kedinasan yang berbiaya besar akan berisiko menghasilkan birokrasi mahal tanpa daya saing digital nyata.