Pendidikan Kedinasan dan Tantangan Melahirkan Birokrat Masa Depan

Ence Sopyan, S.Sos., M.A.P., Dosen & Koor. Eksekutif PRIMANURA.
Sumber :
  • Olret/ES

Jika investasi pendidikan kedinasan benar-benar efektif, maka output birokrasi seharusnya menunjukkan lompatan kinerja yang signifikan. Sayangnya, data menunjukkan sebaliknya.

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) tahun 2024 mencatat nilai rata-rata kabupaten/kota hanya 64,23 (kategori “B” atau “Baik”), sedangkan provinsi berada di angka 70,75. Angka tersebut memang menunjukkan perbaikan, tetapi belum mampu mencerminkan birokrasi yang unggul dan adaptif.

Pada fakta di lapangan, realitasnya jauh lebih kompleks. Evaluasi lembaga pengawas menunjukkan investasi besar negara pada pendidikan kedinasan belum berbanding lurus dengan mutu birokrasi yang dihasilkan.

KPK (2023) melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) mencatat skor nasional hanya 70,97, turun dari 72,43 pada tahun sebelumnya, yang mengindikasikan masih kuatnya potensi korupsi dan maladministrasi bahkan di instansi yang banyak diisi lulusan pendidikan kedinasan. Ironi ini tercermin dalam sejumlah kasus nyata. Misalnya, KPK (2022) menetapkan sejumlah pejabat di Kementerian Keuangan terlibat dalam kasus gratifikasi dan suap terkait pajak. Kasus ini mengguncang karena institusi tersebut dikenal sebagai salah satu lembaga yang banyak diisi oleh lulusan PKN STAN.

Ombudsman RI (2025) juga melaporkan lonjakan aduan publik menjadi 10.846 kasus pada 2024, meningkat signifikan dari 8.452 pada 2023. Substansi aduan meliputi penundaan pelayanan, ketidakpastian, dan penyimpangan prosedur. Hal ini mengindikasikan bahwa birokrasi kita belum menunjukkan standar profesionalisme yang diharapkan oleh masyarakat.

Ombudsman RI (2024) juga menyoroti maladministrasi dalam pelayanan keimigrasian, sektor yang juga banyak ditopang lulusan pendidikan kedinasan di bawah Kementerian Hukum dan HAM, mulai dari pungutan liar hingga keterlambatan layanan paspor (saat ini dua kementerian tersebut dipisah). 

Data komparatif Ombudsman (2024) menunjukkan bahwa, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Perhubungan, lembaga-lembaga yang dominan menggunakan lulusan pendidikan kedinasan masuk dalam lima besar instansi dengan jumlah aduan publik tertinggi.

Misalnya, Kementerian Hukum dan HAM mencatat lebih dari 2.000 aduan maladministrasi, sementara Kemenkeu dan Kemenhub masing-masing mencatat ratusan kasus pelayanan. Angka-angka ini menegaskan bahwa meskipun biaya pendidikan per-mahasiswa kedinasan bisa mencapai miliaran rupiah per tahun, realitas pelayanan publik yang dihasilkan justru masih dipenuhi dengan problem klasik birokrasi.