Dampak Psikologis Bullying bagi Mahasiswa, Sering Diremehkan Karena Nggak Kelihatan Bentuk Sakitnya
Olret – Masa kuliah sering disebut sebagai masa paling seru dalam hidup penuh kebebasan, pengalaman baru, dan pencarian jati diri. Tapi sayangnya, tak semua mahasiswa bisa menikmati masa ini dengan bahagia.
Di balik hiruk pikuk kehidupan kampus, ada sebagian mahasiswa yang diam-diam memikul luka akibat bullying.
Ya, bullying ternyata bukan cuma urusan anak sekolah. Di lingkungan universitas, bentuknya bisa lebih halus tapi tetap menyakitkan mulai dari sindiran, pengucilan, body shaming, gosip jahat, perundungan di media sosial, hingga tekanan dari senior atau organisasi.
Yang bikin berbahaya, dampaknya sering tak kasat mata, tapi pelan-pelan menggerogoti kesehatan mental korbannya.
1. Kepercayaan Diri Runtuh, Harga Diri Terkikis
Ejekan, hinaan, atau perlakuan merendahkan bisa membuat mahasiswa kehilangan rasa percaya diri. Mereka mulai mempertanyakan nilai diri sendiri, merasa tidak cukup pintar, tidak cukup menarik, atau bahkan tidak layak untuk diterima di lingkungannya.
Penelitian dari Journal of Adolescent Health menunjukkan bahwa korban bullying di usia kuliah memiliki risiko lebih tinggi mengalami low self-esteem dan kesulitan membangun relasi sosial yang sehat. Padahal, masa kuliah adalah waktu penting untuk tumbuh dan mengembangkan potensi diri.
2. Kecemasan dan Stres Tak Berujung
Bayangkan harus datang ke kampus setiap hari dengan rasa was-was takut bertemu pelaku, takut jadi bahan omongan, atau takut dikucilkan. Kondisi seperti ini bisa memicu kecemasan berlebih dan stres berkepanjangan.
Gejalanya bisa bermacam-macam mulai dari sulit tidur, mudah panik, kehilangan fokus, hingga sering merasa lelah secara mental. Dalam jangka panjang, stres kronis ini bisa menurunkan daya tahan tubuh dan berdampak pada kesehatan fisik.
3. Depresi dan Rasa Terasing dari Lingkungan
Banyak korban bullying yang akhirnya memilih diam, merasa sendirian, bahkan enggan bergaul dengan teman-temannya. Rasa takut dan malu membuat mereka menutup diri dari lingkungan sosial.
Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi depresi. Mereka kehilangan semangat belajar, kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai, dan merasa hidupnya tak berarti. Studi dari Psychological Medicine menemukan bahwa mahasiswa korban bullying dua kali lebih rentan mengalami depresi dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya.
4. Prestasi Akademik Ikut Menurun
Ketika pikiran dipenuhi ketakutan dan kecemasan, sulit bagi siapa pun untuk fokus belajar. Banyak korban bullying yang akhirnya kehilangan motivasi, sering absen, dan enggan tampil di kelas.
Tak jarang, mereka memilih menjauh dari aktivitas kampus demi “selamat” dari perundungan. Sayangnya, hal ini justru bisa membuat prestasi akademik menurun dan peluang berkembang ikut hilang.
5. Trauma yang Bisa Terbawa Seumur Hidup
Efek bullying tidak berhenti saat kuliah selesai. Banyak korban yang membawa luka psikologis itu hingga dewasa menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain, mudah cemas di lingkungan sosial, atau takut menghadapi kritik.
Beberapa bahkan mengalami gejala post-traumatic stress disorder (PTSD), seperti mimpi buruk, kilas balik kejadian, atau rasa takut berlebihan terhadap situasi tertentu. Luka ini nyata, meski tidak selalu tampak di permukaan.
Bullying bukan sekadar “candaan anak muda” atau “tradisi senioritas.” Ini adalah bentuk kekerasan yang bisa meninggalkan trauma jangka panjang. Karena itu, sudah saatnya kampus berperan aktif menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan bebas intimidasi.
Mahasiswa juga perlu saling peduli, tidak diam saat melihat perundungan, dan berani mencari bantuan ketika menjadi korban. Dukungan dari teman, dosen, hingga layanan konseling kampus bisa menjadi penyelamat.
Ingat, tidak ada alasan yang membenarkan bullying. Setiap mahasiswa berhak merasa aman, dihargai, dan tumbuh dalam lingkungan yang sehat. Karena dari sanalah lahir generasi yang benar-benar kuat, bukan karena menindas, tapi karena saling mendukung.