Waspada! NPD, Depresi, dan Anxiety Mengintai Gen Z: Mengapa Orang Tua dan Atasan Harus Mulai Mendengar

Latihan untuk Mengobati Kecemasan dan Depresi Secara Alami
Sumber :
  • ENA

Olret – Diskusi antara Helmy Yahya dan dr. Vivi Syarif, seorang ahli penyakit jiwa, membuka mata tentang gelombang masalah kesehatan mental yang melanda Generasi Z.

Jauh dari sekadar tren, istilah-istilah seperti anxiety, depresi, dan NPD (Narcissistic Personality Disorder) kini menjadi keluhan serius yang dibawa anak muda ke ruang praktik.

Akar Masalah: Stigma, Gaslighting, dan Pola Asuh Beracun

 

Fenomena Gen Z yang rentan terhadap masalah mental tidak berdiri sendiri, melainkan berakar kuat dari lingkungan dan interaksi antargenerasi:

 

1. Dampak Stigma dan Denial Orang Tua

 

Ketika Gen Z berani mengakui sedang tertekan atau butuh bantuan profesional, respons dari orang tua sering kali menjadi bumerang. Stigma umum seperti "kurang ibadah," "kurang bersyukur," atau hanya perlu "salat saja" justru membuat anak muda merasa tidak dipahami dan dapat memicu sikap anti-agama karena merasa semua dibawa ke ranah spiritual.

 

2. Trauma Berantai (Generational Trauma)

 

Masalah mental Gen Z sering kali merupakan warisan. Pola asuh yang menuntut, menghakimi, dan tidak pernah puas (misalnya, anak ranking satu masih dikritik untuk meraih yang lebih tinggi) menciptakan luka batin.

Parahnya, inkonsistensi moral orang tua (misalnya menyuruh beribadah tapi berselingkuh atau abusif) dapat menyebabkan anak membenci agama karena mereka sejatinya membenci sosok orang tuanya.

 

3. NPD dan Gaslighting dalam Relasi

 

Gen Z tidak hanya menjadi pengidap, tetapi juga korban dari NPD. Narcissistic Personality Disorder ditandai dengan rasa kebesaran, minim empati, dan kebutuhan berlebihan akan pengaguman.

Penderita NPD sangat antikritik dan menggunakan taktik manipulatif seperti gaslighting—memutarbalikkan fakta hingga korbannya (pasangan, anak, atau bawahan) merasa bersalah atas kesalahan yang dilakukan si narsistik.

 

4. Anxiety dan Depresi sebagai Konsekuensi

 

Tingkat kecemasan (anxiety) pada Gen Z dipicu oleh budaya overthinking dan perbandingan sosial yang masif di media sosial. Mereka selalu ingin sukses cepat dan takut ketinggalan (FOMO).

Ketika tekanan hidup, relasi, dan pekerjaan datang, mereka rentan mengalami depresi yang ditandai dengan energi dan motivasi yang turun drastis hingga mengganggu fungsi kehidupan.

Solusi Krusial: Seni Mendengar dan Menangguhkan Penghakiman

 

Untuk menjembatani kesenjangan dan membantu Gen Z, Dr. Vivi Syarif menekankan perlunya perubahan mendasar pada cara generasi tua berkomunikasi:

PeranTindakan yang Harus Dilakukan
Orang Tua & AtasanBelajar Mendengar (Public Listening): Hindari memotong, menasihati, atau memarahi. Begitu cerita dipotong, mereka akan berhenti bercerita.
KomunikasiTangguhkan Penghakiman (Suspend Your Judgement): Jangan cepat-cepat menghakimi atau berasumsi. Berikan rasa nyaman dan kepercayaan agar mereka mau terbuka.
RelasiValidasi Emosi: Biarkan mereka bercerita tentang perasaan yang tidak enak tanpa disangkal (denial). Akui bahwa masalah relasi, terutama di rumah, adalah faktor pemicu terbesar masalah mental.
KepemimpinanAjak Diskusi: Dalam pekerjaan, jangan paksakan pola lama. Ajak Gen Z berdiskusi, cari tahu ide mereka yang kreatif, dan akomodasi kebutuhan mereka yang sangat aware dengan kesehatan mental.

Intinya: Masalah mental Gen Z saat ini adalah sinyal bahwa pola komunikasi dan relasi di keluarga, sekolah, dan kantor sudah tidak lagi relevan. Generasi tua harus mengambil peran proaktif untuk mendengarkan tanpa menghakimi demi masa depan anak-anak dan kemajuan perusahaan.