Mengapa Media Sosial Bisa Bikin Kita Minder? Ini Penjelasan Psikologisnya

ilustrasi scrolling media sosial
Sumber :
  • pexels.com/@cottonbro

OlretMedia sosial memang terlihat penuh warna: feed Instagram dengan foto liburan, TikTok dengan tubuh ideal para influencer, hingga iklan produk kecantikan yang menjanjikan “kesempurnaan”. Tapi, alih-alih membuat bahagia, banyak orang justru merasa minder atau tidak puas dengan diri sendiri setelah scrolling. Kenapa bisa begitu?

Efek Perbandingan Sosial: Naik atau Turun?

Psikolog sosial sudah lama meneliti fenomena social comparison alias perbandingan sosial. Ada dua bentuknya:

Perbandingan ke atas (upward comparison): ketika kita melihat orang lain yang lebih sukses, lebih menarik, atau lebih bahagia.

Perbandingan ke bawah (downward comparison): saat kita membandingkan diri dengan orang yang dianggap kurang beruntung.

Masalahnya, penelitian menunjukkan mayoritas orang cenderung lebih sering melakukan perbandingan ke atas (Haltom, 2025, Psychology Today). Hasilnya? Bukan termotivasi, tapi justru merasa kurang, minder, bahkan tidak puas dengan diri sendiri.

Asimilasi vs Kontras: Dua Cara Kita Bereaksi

Ketika melihat foto influencer atau teman yang tampil “sempurna” di media sosial, kita bisa bereaksi dengan dua cara:

1. Asimilasi – merasa dekat, ingin meniru, atau termotivasi.

2. Kontras – merasa berbeda jauh, menyadari jurang antara diri sendiri dan “standar ideal” yang ditampilkan.

Sayangnya, kebanyakan orang cenderung ke arah kontras. Akibatnya, fokus bukan pada inspirasi, melainkan pada “apa yang salah” dengan tubuh atau kehidupan kita.

Mengapa Efeknya Bisa Begitu Kuat?

Ada beberapa alasan kenapa scrolling media sosial sering meninggalkan rasa tidak puas:

Konten yang dikurasi dan diedit – sebagian besar orang hanya posting momen positif atau foto yang sudah dipoles dengan filter.

Standar kecantikan yang tidak realistis – foto tubuh ideal sering kali hasil editing, bahkan belakangan ada influencer AI yang terlihat “sempurna”.

Paparan berulang – penelitian menemukan bahwa semakin sering seseorang scrolling, semakin besar kemungkinan mereka merasa minder dan mengalami penurunan kepuasan hidup (Fardouly et al., 2018, Body Image Journal).

Siapa yang Paling Rentan?

Riset menunjukkan bahwa remaja dan perempuan paling berisiko mengalami dampak negatif dari perbandingan sosial di media sosial.

Remaja awal kadang masih merasa terinspirasi.

Remaja lebih tua dan perempuan justru lebih sering merasa tidak puas dengan tubuh atau penampilan mereka (APA, 2022).

Dampak Nyata: Dari Minder hingga Perilaku Berisiko

Ketidakpuasan tubuh yang dipicu media sosial bukan sekadar rasa minder sementara. Dalam jangka panjang, bisa berujung pada:

  • Harga diri rendah
  • Obsesi diet berlebihan
  • Olahraga ekstrem

Bahkan dorongan melakukan operasi plastik dengan motivasi negatif.

6 Cara Jaga Kesehatan Mental Saat Bermedia Sosial

Kalau scrolling bikin makin tidak bahagia, bukan berarti solusinya harus berhenti total. Ada beberapa strategi yang terbukti membantu menjaga citra tubuh tetap positif:

1. Batasi waktu layar – riset menunjukkan jeda dari media sosial bisa meningkatkan mood dan kepuasan hidup.

2. Follow akun body positive – isi feed dengan konten yang merayakan keaslian tubuh.

3. Ingat nilai diri bukan cuma soal penampilan – fokus pada kepribadian, skill, dan kualitas diri.

4. Hargai fungsi tubuh – syukuri apa yang bisa dilakukan tubuh, bukan cuma bagaimana tampilannya.

5. Take a break – coba detoks media sosial sejenak dan nikmati aktivitas offline.

6. Tantang pikiran negatif – saat muncul rasa minder, sadari bahwa kebanyakan postingan adalah highlight yang sudah dipoles, bukan kenyataan sehari-hari.

Media sosial bisa jadi sumber hiburan, inspirasi, bahkan koneksi. Tapi di sisi lain, ia juga menciptakan lahan subur untuk perbandingan sosial yang tidak sehat. Menyadari ilusi “kesempurnaan” di balik layar, serta mengatur cara kita berinteraksi dengan konten, adalah langkah penting untuk tetap waras dan menjaga harga diri.

Ingat, feed media sosial adalah sorotan hidup orang lain, bukan representasi nyata seluruh kehidupannya.

 

 

Sumber Referensi:

 

American Psychological Association (2022). Social Media and Youth Mental Health.