Kisah Nyata (Part 5): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet

Gunung Slamet
Sumber :
  • instagram

Sakittt.. sekali rasanya ketika dipakai berjalan dan bersentuhan dengan ujung sepatu. Untung lah saya bersama suami dipendakian ini, Fahmi harus rela bersabar menunggu saya yang berjalan amat perlahan, sedangkan yang lain, sudah lebih dulu menunggu di depan.

“Ga apapa, jalan duluan aja, seru kami!”. Saya masih berusaha berjalan sambil menahan sakit, namun karena ujung-ujung jari ini sepertinya bengkak maka akhirnya saya memutuskan untuk melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal.

Usai memakai sandal, dengan tetap mengenakan kaos kaki, kini saya bisa kembali berjalan dengan lancar. Kini posisi saya di depan, paling depan, diikuti oleh Widi, Usep, Asep, Panji, Bang Epss, Fahmi dan Pak Sakri. Setengah berlari saya menuruni jalur ini dengan cepat, bahkan cukup cepat untuk membuat mereka yang dibelakang berlari sampai ngos-ngosan.

“Stop, jangan cepet-cepat napa Na, ngacir baee!!” Seru Panji. “tau nih, mentang-mentang kaki udah kagak sakit.” Sambung Bang Epps. Baiklah saya menghentikan langkah, tapi dengan saya ngebut tadi itu membuat kami tidak terasa sudah sampai di Pos 3. Waktu masih sore, langit belum gelap, kami sepertinya bisa sampai basecamp sebelum jam 8 malam.

Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kini perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 2, itu artinya kami telah kembali memasuki hutan belantara. Pohon-pohon besar itu kini seolah menyambut kedatangan kami kembali.

Jalur yang semula normal kini mulai dipenuhi semak belukar. Langit, mulai tertutup rimbun nya pepohonan. Waktu menunjukkan pukul 4 Sore, namun lebih gelap dari biasanya, kami harus bergegas agar bisa sampai bawah sebelum larut malam.

Hari mulai gelap, cahaya matahari kini berganti dengan keremangan cahaya dari headlamp yang kami pakai. Entah sekarang jam berapa, sepertinya hampir jam 7 malam, kami belum juga sampai di Pos 2. Jalur terasa sangat panjang.

Sejak langit mulai gelap, kami berjalan hampir tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali kata break dan lanjut. Malam cukup hening, kegelapan kian pekat karena cahaya bulan tertutup rimbunnya pepohonan. Namun keheningan malam itu tiba-tiba saja terpecahkan oleh suara Pak Sakri. “Pergi sana, jangan ikut-ikut!” Seru nya. Mendengar itu, Saya hanya saling pandang dan berbisik kecil dengan Widi dan Fahmi yang kebetulan berada di depan dan belakang saya. “Ada apa?” Bisik ku. Widi dan Fahmi hanya menggelang.