Kisah Nyata (Part 2): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet

Gunung Slamet
Sumber :
  • instagram

Olret

Awalnya memang semua berjalan lancar, untuk bisa Kisah Nyata (Part 1): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet.

*

Selepas membersihkan diri setelah buang air kecil, kami duduk-duduk di batang pohon mati, dibawah bedeng non permanen yang terbuat dari batang pohon kecil dan plastik putih yang sudah lusuh dan bolong disana sini, buatan pendaki terdahulu sepertinya. Terlihat ada bekas bakar-bakaran yang menyisakan warna hangus ditanah dengan beberapa sampah kecil yang terlihat sudah sangat lama ditinggalkan disana.

Ketika kami sedang asik beristirahat seraya meluruskan kaki kami, mengendorkan otot yang tegang, kami disibukkan dengan banyaknya pacet atau lintah yang menempel pada kaki kami, tidak cuma dikaki tapi juga di punggung teman kami, syukurlah saya tidak kebagian dalam drama ini.

Gelak tawa tak terelakan melihat tingkah sesama team kami yang kegelian melihat lintah menempel ditubuh mereka. Mereka memutar-mutarkan badan seraya mencari dimana lagi lintah-lintah itu menempel, ada yang masih kecil ada yang sudah menjadi sangat gemuk tanda lintah itu sudah cukup lama berada disana dan menghisap banyak darah.

Ketika ingin melanjutkan perjalanan, sayup-sayup terdengar adzan maghrib berkumandang. Akhirnya kami memutuskan menunda perjalanan kami sejenak dan melanjutkan setelah adzan maghrib selesai.

*

Perjalanan menuju POS 2 pun dimulai, masih dengan pemandangan yang sama, pohon-pohon besar dengan akar-akar yang kekar tertancap gagah di hutan belantara ini. Sekilas mirip hutan di pinggiran sungai Amazon atau atau di film Anaconda, benar-benar liar. Ukuran batang pohonnya mungkin cukup jika dipeluk oleh dua orang dewasa atau bahkan lebih.

Hari sudah mulai gelap, tidak ada yang aneh dengan perjalanan kami sejauh ini, sampai pada suatu titk, Panji teman kami mengeluh sakit pada kaki kanan nya.

“Break!, brenti dulu, kaki gue sakit”. Ucapnya.

“Kenapa Nji?” tanyaku.

“Ga tau tiba-tiba sakit banget”.

“Yaudah istirahat dulu nanti baru kita lanjut lagi”. Seru teman yang lainnya.

Kami beristirahat dijalur, karena memang tidak ada tanah lapang disana, hanya jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan lebat. Sambil berdiri kami mencoba mengatur nafas masing-masing, berharap sakit kaki Panji cepat mereda.