Dua Dunia, Satu Kamar: Ketika Kejawen Bertemu Sunda Wiwitan di Tanah Pasundan
- Youtube Malam Mencekam
Ini adalah perpaduan yang mengguncang. Kejawen dan Islam, tradisi leluhur dan ajaran agama, menyatu dalam sebuah ritual yang membuktikan: persatuan batin lebih kuat dari perbedaan jalan.
Teror Gandok dan Istri Ghaib
Persahabatan mereka tak berhenti di urusan uang. Di tanah Pasundan, yang berakar kuat dengan tradisi Sunda Wiwitan, Mas Damar mulai banyak belajar mengenai titik-titik angker Bandung. Yang paling menonjol adalah Gandok, jembatan di Jalan Siliwangi dekat Sabuga.
Mas Damar, dengan kepekaan Kejawen, selalu melihat ratusan gondoruwo berjejer seperti barisan prajurit saat melintasi sana, memenuhi gedung-gedung kampus di sekitarnya. Joko yang penasaran ikut membuktikan. Di dalam angkot yang sama, keduanya berbagi penglihatan: Mas Damar melalui mata batin Kejawennya, Joko dengan kejernihan batin Islamnya. Dua pandangan, satu realitas ghaib.
Namun, perbedaan tetap ada. Mas Damar terbiasa menyisihkan makanan untuk "saudara tak kasat mata," yang langsung ditegur Joko sebagai pemborosan dalam Islam. Lebih personal lagi, Mas Damar punya "istri ghaib" hasil pernikahan ritual Kejawen, yang kehadirannya kadang ditandai aroma wangi tiba-tiba. Joko, meski terkejut, menerimanya tanpa menghakimi.
“Kita berjodoh untuk saling melengkapi,” ujar Joko, merangkum inti persahabatan mereka.
Jembatan Bukan Jurang
Kisah ini jauh melampaui soal penarikan uang ghaib. Perjumpaan antara anak Kejawen dari Jawa dan anak indigo muslim dari Kudus di tanah Pasundan adalah sebuah eksperimen spiritual yang langka. Dua jalur berbeda bertemu, bukan untuk saling meniadakan, tapi untuk saling memahami dan melengkapi.
Mas Damar yang semula minder karena bukan seorang muslim, justru menemukan persaudaraan sejati dan ikatan batin yang memungkinkan mereka berkomunikasi tanpa kata.
Kisah mereka adalah narasi tentang persahabatan lintas keyakinan, tentang mencari makna di tengah percampuran tradisi, dan tentang bagaimana dunia nyata dan ghaib, Kejawen dan nuansa Sunda Wiwitan, bertemu dalam diri anak muda yang sedang mencari arah.
"Mungkin memang jalan hidup saya untuk jadi saksi," tutup Mas Damar, "bahwa dunia ghaib itu nyata, dan bahwa perbedaan bisa jadi jembatan, bukan jurang.”