Dear Ayah Ibu, Mengapa Kau Membedakan Perlakuan pada Anak-anakmu?

Ilustrasi orang tua dan anak
Sumber :
  • https://www.pexels.com/@kindelmedia

Kedua orang tua seakan menjadi pematah semangat nomer satu. Sebetulnya mereka hendak memberikan saran, mengarahkan namun tidak mau mendengarkan keinginan sang anak. Anak harus menurut sesuai apa yang dimau orang tua tanpa anak-anak bisa memilih. 

Anak pertama yang tidak dipercaya untuk berkembang sendiri. Tapi giliran si adik yang ingin ini dan itu mereka tidak melarang. Saat diprotes, orang tua justru menjawab tidak merasa membeda-bedakan.

Ada lagi kasus yang mana si anak bekerja keras, semangat menabung dengan harapan bisa untuk biaya melanjutkan pendidikan tanpa lupa memberikan jatah uang bulanan kepada orang tua semampu mereka.

Namun, ketika meminta izin untuk kembali kuliah jawaban orang tua sungguh menyakitkan. Giliran si adiknya ini meminta sepeda motor, orang tua berusaha keras memenuhinya dan si anak pertama disuruh mengalah.

Kejadian lainnya adalah anak pertama yang selalu salah dimata orang tua. Terlihat tidak memberikan kontribusi apapun selain hanya memberi beban. Padahal pada kenyataannya sang anak ini cukup berbakti. Mencurahkan tenaganya untuk membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Namun, yang tampak adalah anak cuma hobi tiduran, rebahan. Sedangkan ketika si bungsu yang aslinya paling malas malah disanjung-sanjung. Sungguh dimana letak kata adilnya?

Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa serupa dengan cerita yang berbeda-beda. Terang-terangan mengatakan si adik lebih pintar daripada kakak atau sebaliknya sampai terdengar oleh anak-anak tentu memberikan rasa sakit di hati yang terdalam.

Menorehkan luka pada batin anak bisa menyebabkan trauma. Menganggap bahwa orang tua hanyalah sumber segala kesedihan dan membuat anak menjauh secara perlahan, mengurangi komunikasi dengan orang tua, menarik diri dari berkumpul dengan orang tua walaupun secara fisik mereka tetap ada di samping orang tua, tetap menghormati, menghargai namun secara batin mereka merasa sangat jauh.

Hal tersebut menjadi bahan introspeksi diri kita bahwa tidak bisa sembarangan menyebut anak durhaka karena bisa jadi perlakuan kitalah yang sebenarnya mendorong anak berbuat buruk.

Kendati demikian, sebagai anak janganlah kita keras kepala dan egois hingga tak peduli pada orang tua yang telah membesarkan kita. Bisa jadi kita memiliki kesalahan yang juga menyakiti hati mereka namun kita telah lupa.