Dinamika Ketatanegaraan di Inggris, Jepang, dan Portugal: Studi Komparatif Sistem Pemerintahan dan Konstitusi Modern

Hukum Tata Negara
Sumber :
  • https://i.pinimg.com/1200x/51/80/9e/51809eed26855d44e3eb5f7814699e9b.jpg

Olret – Sistem ketatanegaraan merupakan pilar utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara yang menentukan bagaimana kekuasaan dibagi, dijalankan, dan diawasi.

Perbedaan latar belakang sejarah, ideologi politik, tradisi hukum, serta pengalaman kolonial dan pasca perang telah membentuk karakter ketatanegaraan yang unik di setiap negara.

Inggris, Jepang, dan Portugal menjadi contoh menarik karena masing-masing mengembangkan model pemerintahan demokratis dengan corak yang berbeda, mulai dari monarki konstitusional tanpa konstitusi tertulis, monarki simbolik pasca Perang Dunia II, hingga republik semi-presidensial modern.

Kajian komparatif terhadap ketiga negara ini penting dalam perspektif hukum tata negara karena mampu memberikan gambaran tentang variasi praktik demokrasi, pembatasan kekuasaan, serta hubungan antar lembaga negara.

Dengan memahami dinamika tersebut, pembaca dapat menilai kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem serta relevansinya bagi pengembangan ketatanegaraan Indonesia.

Sistem Ketatanegaraan Inggris dalam Kerangka Monarki Konstitusional

Inggris menganut sistem monarki konstitusional yang berkembang secara evolutif melalui praktik ketatanegaraan dan tradisi hukum common law. Raja atau Ratu berkedudukan sebagai kepala negara, namun tidak menjalankan kekuasaan pemerintahan secara langsung. Kedudukan monarki bersifat simbolik dan seremonial, sementara kekuasaan politik dijalankan oleh parlemen dan pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri.

Prinsip ini tercermin dalam Bill of Rights 1689 yang menegaskan pembatasan kekuasaan raja dan supremasi parlemen. Salah satu ketentuan penting menyatakan bahwa pemungutan pajak dan pembentukan hukum harus mendapatkan persetujuan parlemen.

Dalam praktik modern, monarki tidak pernah menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui parlemen, meskipun secara formal Royal Assent tetap diperlukan sebagai syarat berlakunya undang-undang.

Keunikan Inggris terletak pada tidak adanya konstitusi tertulis tunggal. Konstitusi Inggris terbentuk dari berbagai sumber seperti undang-undang penting, putusan pengadilan, dan konvensi ketatanegaraan. Hal ini menjadikan sistem ketatanegaraan Inggris fleksibel, namun tetap menjunjung prinsip negara hukum dan demokrasi.

Struktur Legislatif dan Prinsip Kedaulatan Parlemen Inggris

Parlemen Inggris merupakan pemegang kekuasaan legislatif tertinggi berdasarkan doktrin parliamentary sovereignty. Struktur parlemen bersifat bikameral yang terdiri dari House of Commons dan House of Lords. House of Commons memiliki peran dominan karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan menentukan keberlangsungan pemerintahan.

House of Lords berfungsi sebagai lembaga peninjau dan pemberi pertimbangan terhadap rancangan undang-undang. Meskipun tidak memiliki kekuasaan veto absolut, House of Lords dapat menunda pengesahan undang-undang dan memberikan kritik substantif terhadap kebijakan pemerintah. Mekanisme ini mencerminkan prinsip checks and balances dalam sistem parlementer Inggris.

Kedaulatan parlemen berarti bahwa tidak ada lembaga lain, termasuk pengadilan, yang dapat membatalkan undang-undang yang disahkan parlemen. Prinsip ini menjadi ciri khas sistem hukum Inggris dan membedakannya dari negara-negara dengan konstitusi tertulis yang menganut judicial supremacy.

Kekuasaan Eksekutif dan Yudisial dalam Sistem Inggris

Kekuasaan eksekutif di Inggris dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinet yang bertanggung jawab secara kolektif kepada House of Commons. Perdana Menteri dipilih dari partai politik yang menguasai mayoritas kursi parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sistem ini menegaskan hubungan erat antara eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan parlementer.

Dalam bidang yudisial, Inggris memiliki sistem peradilan yang kompleks dan plural. Sejak Constitutional Reform Act 2005, Mahkamah Agung Inggris menjadi lembaga peradilan tertinggi.

Meskipun demikian, pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan undang-undang parlemen, melainkan hanya menafsirkan hukum dan melindungi hak-hak warga negara.

Sistem Ketatanegaraan Portugal dalam Model Republik Semi-Presidensial

Portugal merupakan negara republik yang menganut sistem pemerintahan semi-presidensial sebagaimana diatur dalam Konstitusi Portugal 1976. Pasal 2 Konstitusi Portugal menegaskan bahwa Portugal adalah negara hukum demokratis yang berdasarkan kedaulatan rakyat, pluralisme, dan supremasi konstitusi.

Dalam sistem ini, Presiden berperan sebagai kepala negara yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun. Presiden memiliki kewenangan strategis, seperti menunjuk Perdana Menteri, membubarkan parlemen dalam kondisi tertentu, serta mengawasi stabilitas konstitusional. Namun, kekuasaan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Perdana Menteri bersama kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen.

Model semi-presidensial Portugal menciptakan keseimbangan antara stabilitas eksekutif dan kontrol legislatif. Presiden tidak bersifat seremonial semata, tetapi juga tidak mendominasi pemerintahan, sehingga tercipta pembagian kekuasaan yang relatif proporsional.

Lembaga Legislatif, Yudikatif, dan Sistem Pemilu Portugal

Kekuasaan legislatif Portugal dijalankan oleh Majelis Republik (Assembleia da República) sebagai parlemen unikameral. Pasal 147 Konstitusi Portugal menyatakan bahwa Majelis Republik terdiri dari 230 deputi yang dipilih melalui pemilihan umum dengan sistem perwakilan proporsional. Sistem ini memungkinkan representasi politik yang luas dan pluralistik.

Dalam bidang yudisial, Konstitusi Portugal memberikan kedudukan penting kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang, sehingga menjamin supremasi konstitusi dan perlindungan hak asasi manusia.

Pemilu di Portugal dilaksanakan secara bebas, langsung, dan berkala sebagai perwujudan prinsip demokrasi. Pasal 10 Konstitusi Portugal menegaskan bahwa kedaulatan rakyat dijalankan melalui pemilihan umum dan partisipasi politik warga negara.

Sistem Ketatanegaraan Jepang dalam Monarki Konstitusional Modern

Jepang menganut sistem monarki konstitusional dengan Kaisar sebagai simbol negara dan pemersatu rakyat. Pasal 1 Konstitusi Jepang 1947 menyatakan bahwa Kaisar adalah simbol negara dan persatuan rakyat, yang kedudukannya berasal dari kehendak rakyat yang berdaulat. Dengan ketentuan ini, Kaisar tidak memiliki kekuasaan politik dan hanya menjalankan fungsi seremonial.

Kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (National Diet). Pasal 41 Konstitusi Jepang menyebutkan bahwa Diet merupakan organ tertinggi kekuasaan negara dan satu-satunya lembaga pembentuk undang-undang. Hal ini menegaskan supremasi parlemen dalam sistem ketatanegaraan Jepang.

Model ini mencerminkan transformasi Jepang dari monarki absolut pada masa Konstitusi Meiji menjadi demokrasi konstitusional pasca Perang Dunia II.

Struktur Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial Jepang

Parlemen Jepang bersifat bikameral yang terdiri dari House of Representatives dan House of Councillors. Perdana Menteri dipilih dari anggota parlemen dan memiliki kewenangan membentuk kabinet. Pasal 66 Konstitusi Jepang menegaskan bahwa kekuasaan eksekutif dijalankan oleh kabinet yang bertanggung jawab secara kolektif kepada Diet.

Dalam bidang yudisial, Pasal 76 Konstitusi Jepang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman berada di tangan Mahkamah Agung dan pengadilan yang lebih rendah. Mahkamah Agung memiliki kewenangan judicial review untuk menilai konstitusionalitas undang-undang, sehingga berperan penting dalam menjaga supremasi konstitusi dan perlindungan hak warga negara.

Pengaruh Sistem Ketatanegaraan Inggris, Jepang, dan Portugal terhadap Indonesia

Penting untuk menyoroti pengaruh ketiga sistem ketatanegaraan tersebut terhadap Indonesia. Inggris memberikan inspirasi awal terhadap praktik sistem parlementer di Indonesia pada periode 1945–1959.

Jepang meninggalkan pengaruh dalam bidang administrasi, militer, dan pendidikan selama masa pendudukan, sementara Portugal memberikan contoh penerapan sistem semi-presidensial yang menekankan keseimbangan kekuasaan antara presiden dan parlemen.

Pengalaman ketiga negara tersebut menunjukkan bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan historis. Indonesia dapat mengambil pelajaran penting terkait penguatan checks and balances, supremasi konstitusi, serta efektivitas lembaga negara dalam mewujudkan demokrasi yang substansial.

Catatan Penting

Dinamika ketatanegaraan Inggris, Jepang, dan Portugal menunjukkan bahwa demokrasi dapat dijalankan melalui berbagai model sistem pemerintahan.

Perbedaan tersebut justru memperkaya kajian hukum tata negara dan memberikan perspektif komparatif bagi pengembangan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlandaskan konstitusi, demokrasi, dan keadilan sosial.