Perbandingan Dinamika Ketatanegaraan Thailand dan Belanda dalam Perspektif Negara Hukum Modern
- Gemini Ai
Olret – Ketatanegaraan sebagai cabang utama hukum publik menempatkan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi yang mengatur struktur kekuasaan negara. Thailand dan Belanda sama-sama mengadopsi monarki konstitusional, namun menunjukkan praktik ketatanegaraan yang berbeda secara signifikan.
Perbedaan tersebut tercermin dari stabilitas konstitusi, kedudukan lembaga negara, serta hubungan antara kekuasaan sipil dan non-sipil dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, kajian komparatif ini menjadi penting untuk memahami bagaimana konstitusi bekerja tidak hanya secara normatif, tetapi juga dalam praktik ketatanegaraan.
Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan Thailand dalam Perspektif Konstitusi
Thailand Geser Posisi Vietnam di Sejarah SEA Games
- thethao247.vn
Thailand secara konstitusional dinyatakan sebagai negara monarki konstitusional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Konstitusi Kerajaan Thailand Tahun 2017 yang menyatakan bahwa Thailand menganut bentuk negara monarki dengan Raja sebagai kepala negara.
Raja diposisikan sebagai simbol persatuan nasional dan pelindung agama, khususnya agama Buddha yang memiliki kedudukan istimewa dalam kehidupan bernegara.
Lebih lanjut, Pasal 3 Konstitusi Thailand 2017 menegaskan bahwa kekuasaan kedaulatan berasal dari rakyat Thailand, namun pelaksanaannya dilakukan melalui Raja dan lembaga negara sesuai dengan ketentuan konstitusi.
Formulasi pasal ini menunjukkan adanya prinsip kedaulatan rakyat, tetapi sekaligus membuka ruang interpretasi luas terkait peran Raja dan lembaga non-elektoral dalam sistem pemerintahan Thailand.
Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif di Thailand
Struktur kekuasaan negara Thailand diatur dalam Bab V Konstitusi Thailand 2017 yang mengatur tentang Majelis Nasional atau Rathasapha. Lembaga legislatif terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.
Pasal 83 menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, sementara ketentuan mengenai Senat diatur secara khusus dalam Pasal 107, yang pada periode transisi memungkinkan pengisian Senat melalui mekanisme pengangkatan.
Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Perdana Menteri dan Dewan Menteri. Pasal 158 Konstitusi Thailand 2017 mengatur bahwa Perdana Menteri harus berasal dari anggota parlemen dan diangkat oleh Raja.
Dalam bidang yudikatif, Pasal 188 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan yang independen dan tidak berada di bawah pengaruh cabang kekuasaan lain.
Namun, dalam praktiknya, putusan Mahkamah Konstitusi Thailand sering kali berada dalam pusaran konflik politik, sehingga menimbulkan perdebatan mengenai independensi yudisial.
Dinamika Konstitusi dan Budaya Politik Thailand
Konstitusi Thailand mengalami perubahan berulang sejak tahun 1932, yang menunjukkan lemahnya konsensus ketatanegaraan. Pasal 279 Konstitusi Thailand 2017 bahkan secara eksplisit memberikan legitimasi terhadap perintah dan tindakan Dewan Keamanan Nasional pasca kudeta, yang secara yuridis menegaskan kuatnya peran militer dalam sistem ketatanegaraan.
Dari perspektif hukum tata negara, ketentuan tersebut menimbulkan persoalan serius karena konstitusi tidak hanya berfungsi sebagai pembatas kekuasaan, tetapi juga sebagai alat justifikasi kekuasaan.
Budaya politik yang bersifat hierarkis dan patron-klien memperkuat kondisi ini, sehingga prinsip supremasi konstitusi dan demokrasi konstitusional belum sepenuhnya terinternalisasi dalam praktik ketatanegaraan Thailand.
Sistem Ketatanegaraan dan Pemerintahan Belanda Menurut Konstitusi
Belanda juga menganut monarki konstitusional, namun dengan karakter parlementer yang kuat. Pasal 24 Konstitusi Belanda (Grondwet) menyatakan bahwa pemerintahan dijalankan oleh Raja bersama para menteri. Meskipun demikian, Pasal 42 ayat (2) menegaskan bahwa Raja tidak dapat diganggu gugat, sedangkan para menteri bertanggung jawab atas tindakan pemerintahan.
Ketentuan ini mencerminkan prinsip dasar parlementarisme, di mana tanggung jawab politik sepenuhnya berada pada kabinet. Konstitusi Belanda relatif stabil dan jarang mengalami perubahan, sehingga menciptakan kepastian hukum dan kontinuitas sistem ketatanegaraan yang kuat.
Lembaga Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif di Belanda
Kekuasaan legislatif Belanda diatur dalam Pasal 51 Konstitusi Belanda, yang menyatakan bahwa parlemen terdiri dari Tweede Kamer dan Eerste Kamer. Pasal 81 menegaskan bahwa pembentukan undang-undang dilakukan secara bersama oleh pemerintah dan parlemen. Tweede Kamer memiliki hak inisiatif dan hak amandemen, sementara Eerste Kamer hanya memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak rancangan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 112 Konstitusi Belanda, yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perdata dan pidana dilakukan oleh badan peradilan yang independen. Hakim diangkat seumur hidup, yang bertujuan untuk menjamin independensi dan imparsialitas peradilan sebagai pilar utama negara hukum.
Sistem Kepartaian dan Praktik Demokrasi di Belanda
Konstitusi Belanda menjamin kebebasan berserikat dan berpendapat yang menjadi dasar sistem multi-partai. Pasal 4 Konstitusi Belanda menegaskan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Ketentuan ini memperkuat legitimasi demokrasi perwakilan dan memungkinkan partisipasi politik yang luas.
Dalam praktik ketatanegaraan, sistem kepartaian Belanda mendorong terbentuknya pemerintahan koalisi yang berbasis musyawarah dan kompromi. Dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi ini memperlihatkan keberhasilan penerapan demokrasi konstitusional yang seimbang antara efektivitas pemerintahan dan perlindungan hak politik warga negara.
Relevansi Ketatanegaraan Thailand dan Belanda bagi Indonesia
Pengalaman Thailand dan Belanda memberikan pembelajaran penting bagi Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945.
Ketentuan konstitusional Thailand menunjukkan risiko ketika konstitusi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan non-demokratis, sementara Belanda memperlihatkan pentingnya konsistensi konstitusi dan pertanggungjawaban politik.
Dalam konteks Indonesia, penguatan prinsip supremasi konstitusi, pembatasan kekuasaan, serta independensi peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menjadi kunci utama dalam menjaga demokrasi dan negara hukum yang berkeadilan.