Perbandingan Sistem Pemerintahan di Negera Mayoritas Penduduk Islam
- https://marinews.mahkamahagung.go.id/static/2025/06/23/filsafat-hukum-48JVW.jpg
Olret – Sistem pemerintahan merupakan salah satu elemen fundamental dalam hukum tata negara karena menentukan bagaimana kekuasaan dijalankan, dibatasi, dan dipertanggungjawabkan.
Di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, sistem pemerintahan berkembang dalam spektrum yang luas, mulai dari monarki absolut hingga republik demokratis. Perbedaan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor agama, tetapi juga sejarah kolonialisme, dinamika politik nasional, serta konfigurasi sosial masyarakatnya.
Kajian perbandingan sistem pemerintahan di negara mayoritas penduduk Islam menjadi relevan untuk memahami bahwa Islam sebagai agama tidak secara tunggal menentukan bentuk negara.
Justru, konstitusi dan praktik ketatanegaraanlah yang berperan besar dalam membentuk corak pemerintahan suatu negara. Dalam konteks ini, analisis komparatif menjadi penting untuk melihat bagaimana prinsip demokrasi, negara hukum, dan pembatasan kekuasaan diterapkan secara berbeda-beda.
Sistem Pemerintahan Monarki di Negara Mayoritas Penduduk Islam
Beberapa negara mayoritas penduduk Islam masih mempertahankan sistem pemerintahan monarki, seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Dalam sistem ini, kepala negara berasal dari garis keturunan tertentu dan memiliki kekuasaan yang sangat dominan dalam struktur ketatanegaraan.
Sistem monarki umumnya menempatkan raja atau sultan sebagai pusat kekuasaan eksekutif, bahkan dalam beberapa kasus juga memiliki pengaruh besar terhadap fungsi legislatif dan yudikatif.
Dalam praktiknya, konstitusi di negara monarki Islam sering kali berfungsi lebih sebagai instrumen legitimasi kekuasaan daripada sebagai alat pembatas kekuasaan. Arab Saudi, misalnya, menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum tertinggi, sementara hukum positif dan lembaga negara bekerja dalam kerangka interpretasi penguasa.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan monarki di negara mayoritas Muslim cenderung menekankan stabilitas dan tradisi dibandingkan prinsip demokrasi prosedural.
Sistem Pemerintahan Republik Presidensial
Sistem pemerintahan republik presidensial juga dianut oleh sejumlah negara mayoritas penduduk Islam, seperti Turki dan Indonesia. Dalam sistem ini, presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dengan masa jabatan tertentu dan legitimasi yang diperoleh melalui pemilihan umum. Secara teoritis, sistem presidensial menekankan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif.
Namun, dalam praktik ketatanegaraan, sistem presidensial di negara-negara tersebut mengalami variasi yang signifikan. Turki, misalnya, setelah perubahan konstitusi, menunjukkan kecenderungan penguatan kekuasaan presiden yang sangat dominan.
Kondisi ini menimbulkan perdebatan mengenai kemunduran demokrasi dan melemahnya mekanisme checks and balances. Hal tersebut memperlihatkan bahwa sistem presidensial di negara mayoritas Muslim sangat dipengaruhi oleh dinamika politik domestik, bukan semata-mata oleh norma konstitusi tertulis.
Sistem Pemerintahan Republik Parlementer
Selain sistem presidensial, beberapa negara mayoritas penduduk Islam menganut sistem pemerintahan parlementer, seperti Pakistan dan Malaysia. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan adalah perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen, sementara kepala negara memiliki fungsi simbolik atau seremonial.
Sistem parlementer dinilai lebih fleksibel karena memungkinkan pergantian pemerintahan tanpa harus menunggu berakhirnya masa jabatan tertentu.
Meski demikian, penerapan sistem parlementer di negara mayoritas Muslim tidak selalu berjalan stabil. Pakistan, misalnya, kerap mengalami ketegangan antara pemerintah sipil dan militer, yang berdampak pada keberlangsungan pemerintahan parlementer.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan sistem parlementer tidak hanya ditentukan oleh desain konstitusi, tetapi juga oleh budaya politik dan penghormatan terhadap supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan.
Sistem Pemerintahan Federal dalam Negara Mayoritas Penduduk Islam
Sistem pemerintahan federal diterapkan di beberapa negara mayoritas penduduk Islam, seperti Uni Emirat Arab dan Pakistan. Sistem ini membagi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau negara bagian, yang masing-masing memiliki kewenangan konstitusional. Federalisme sering dipilih untuk mengakomodasi keragaman etnis, budaya, dan geografis dalam suatu negara.
Dalam konteks negara mayoritas Muslim, federalisme juga menjadi instrumen untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan stabilitas politik. Namun, penerapannya tidak selalu ideal.
Di Pakistan, misalnya, hubungan antara pemerintah pusat dan provinsi kerap diwarnai konflik kewenangan. Hal ini menegaskan bahwa sistem pemerintahan federal memerlukan komitmen konstitusional yang kuat agar tidak menimbulkan fragmentasi politik dan ketidakpastian hukum.
Peran Konstitusi dalam Membatasi Kekuasaan Pemerintah
Konstitusi memiliki peran sentral dalam menentukan karakter sistem pemerintahan suatu negara. Di negara mayoritas penduduk Islam, konstitusi berfungsi sebagai dasar hukum tertinggi yang mengatur pembagian kekuasaan, mekanisme pengawasan, serta jaminan hak asasi manusia. Namun, efektivitas konstitusi sangat bergantung pada implementasinya dalam praktik ketatanegaraan.
Negara yang memiliki lembaga pengawal konstitusi yang kuat, seperti mahkamah konstitusi, cenderung lebih mampu menjaga keseimbangan kekuasaan.
Sebaliknya, ketika konstitusi tidak dihormati atau mudah diubah demi kepentingan politik jangka pendek, sistem pemerintahan berpotensi bergeser ke arah otoritarianisme. Oleh karena itu, konstitusi tidak boleh dipahami sekadar sebagai teks hukum, melainkan sebagai komitmen kolektif dalam penyelenggaraan negara.
Hubungan Agama dan Sistem Pemerintahan
Salah satu isu krusial dalam sistem pemerintahan di negara mayoritas penduduk Islam adalah hubungan antara agama dan negara. Beberapa negara secara eksplisit menjadikan Islam sebagai dasar negara atau sumber utama legislasi, sementara negara lain memilih pendekatan sekuler dengan tetap menjamin kebebasan beragama.
Perbedaan pendekatan ini memengaruhi karakter sistem pemerintahan dan kebijakan publik yang dihasilkan.
Dalam praktiknya, keberadaan agama dalam sistem pemerintahan tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara belum tentu otoriter, dan sebaliknya negara sekuler belum tentu sepenuhnya demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama dalam sistem pemerintahan adalah komitmen terhadap prinsip negara hukum, bukan semata-mata basis ideologis keagamaan.
Relevansi Perbandingan Sistem Pemerintahan bagi Indonesia
Bagi Indonesia, kajian perbandingan sistem pemerintahan di negara mayoritas penduduk Islam memiliki nilai strategis dalam pengembangan hukum tata negara. Indonesia memilih sistem presidensial dalam kerangka negara hukum demokratis, tanpa menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara. Pilihan ini mencerminkan upaya menyeimbangkan pluralisme, demokrasi, dan stabilitas pemerintahan.
Melalui perbandingan tersebut, Indonesia dapat mengambil pelajaran mengenai pentingnya pembatasan kekuasaan, penguatan lembaga konstitusional, serta konsistensi dalam menegakkan konstitusi.
Dengan demikian, sistem pemerintahan Indonesia dapat terus disempurnakan agar tetap relevan dengan dinamika masyarakat dan tantangan ketatanegaraan di masa depan.