Doyan Makan tapi Sering Foto Dulu? Ternyata Begini Alasan Psikologisnya!
- freepik.com
Olret – Makanan sudah tersaji rapi di meja, aroma menggoda tercium, perut juga sudah minta jatah. Tapi alih-alih langsung menyantap, tangan justru sibuk ambil ponsel, atur pencahayaan, cari angle terbaik, lalu… jepret! Bagi sebagian orang, ini sudah jadi kebiasaan yang susah dihindari. Makan tanpa foto rasanya kayak ada yang kurang.
Kebiasaan memotret makanan sebelum makan bukan cuma soal gaya hidup atau ikut-ikutan tren. Di balik aksi kecil ini, ada alasan psikologis yang cukup menarik dan mencerminkan cara kita memproses emosi, identitas, hingga hubungan sosial.
1. Butuh Validasi Sosial dan Rasa Diterima
Setiap kali kita posting foto makanan dan mendapat respons positif entah itu likes, komentar, atau emoji pujian otak merespons dengan melepaskan dopamin, zat kimia yang bikin kita merasa senang. Inilah yang disebut reward system. Semakin sering kita mendapat “penghargaan” secara sosial, semakin kuat dorongan untuk mengulanginya.
Menurut psikologi sosial, ini termasuk bentuk social reinforcement di mana kita merasa lebih dihargai dan diterima lewat interaksi di media sosial. Jadi bukan sekadar foto makanan, tapi ada rasa ingin diakui yang ikut bermain di dalamnya.
2. Menunjukkan Siapa Kita di Era Digital
Identitas digital bukan cuma dibentuk dari selfie atau caption bijak. Makanan juga jadi “alat komunikasi” visual yang menunjukkan gaya hidup, preferensi, bahkan status. Makan makanan sehat? Terlihat seperti orang yang peduli kesehatan. Nongkrong di coffee shop hits? Terkesan trendi dan sosial.
Inilah yang disebut self-presentation, di mana seseorang secara sadar membentuk citra diri di hadapan orang lain. Lewat makanan yang difoto dan diunggah, kita ingin menunjukkan versi terbaik dari diri kita ke dunia luar.
3. Mengabadikan Momen dan Rasa
Makanan bukan cuma soal rasa, tapi juga soal momen. Ada kalanya yang ingin diabadikan bukan makanannya saja, tapi suasana di sekitarnya seperti ngobrol bareng sahabat, reunian keluarga, atau momen mencoba masakan sendiri untuk pertama kali.
Secara psikologis, ini berkaitan dengan emotional memory yang merupakan bentuk upaya untuk menyimpan perasaan atau kenangan lewat benda visual. Foto makanan menjadi semacam pintu masuk untuk mengenang emosi yang pernah kita rasakan.
4. Bentuk Modern dari Mindful Eating
Menariknya, memotret makanan bisa secara tidak langsung menjadi cara untuk melatih mindful eating. Saat kita mengambil waktu sejenak sebelum makan untuk memotret, mengatur posisi, atau memperhatikan detail makanan kita sedang melibatkan kesadaran penuh terhadap apa yang akan kita konsumsi.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa orang yang memotret makanan cenderung makan lebih perlahan dan menikmati proses makannya. Ini bisa membantu mencegah makan secara impulsif atau berlebihan.
5. FOMO alias Takut Ketinggalan Tren
Saat teman-teman sudah lebih dulu mencoba es krim viral atau resto baru yang lagi naik daun, muncul rasa ingin ikut serta agar tetap nyambung. Inilah yang disebut Fear of Missing Out (FOMO), rasa takut merasa “tertinggal” dalam percakapan sosial.
Dengan mengunggah foto makanan kekinian, kita merasa jadi bagian dari komunitas yang up-to-date. Ini bukan hanya soal makanan, tapi juga soal menjaga koneksi sosial di dunia digital.
Jadi, Wajar Nggak Sih Suka Foto Makanan?
Wajar banget. Selama dilakukan dengan kesadaran, tidak mengganggu orang lain, dan tidak sampai membuat stres karena “takut nggak update”, kebiasaan ini tergolong sehat secara sosial maupun emosional. Foto makanan bisa jadi bentuk ekspresi diri, pelampiasan kreativitas, hingga sarana mempererat hubungan sosial.
Yang penting, jangan sampai keasyikan ambil foto bikin lupa nikmati rasa. Kadang, pengalaman terbaik justru hadir saat kamera disimpan dan kamu benar-benar hadir dalam momen makan itu sendiri.