5 Alasan Milenial dan Gen Z Ogah Beli Apartemen di Jakarta, Cari Yang Gimana Sih?

Mall di Jakarta
Sumber :
  • u-repot

Olret – Dulu, punya apartemen di Jakarta adalah impian anak muda. Tinggal di pusat kota, akses ke mana-mana gampang, plus terkesan modern dan “berkelas”. Tapi sekarang, realitanya berubah. Banyak milenial dan Gen Z justru menolak atau menunda beli apartemen. Kenapa? Karena buat mereka, tinggal di apartemen sudah nggak relevan dengan kebutuhan hidup masa kini.

Nah, berikut ini 5 alasan kenapa generasi muda makin ogah beli apartemen di Jakarta, lengkap dengan penjelasan yang menarik dan edukatif.

 

1. Harga Mahal, Fasilitas Gitu-Gitu Aja

Harga apartemen di Jakarta masih tinggi, apalagi yang lokasinya strategis. Tapi sayangnya, fasilitas yang ditawarkan kadang gak sebanding dengan banderol harga. Mulai dari ukuran unit yang sempit, desain yang monoton, sampai kolam renang yang lebih cocok disebut genangan.

Milenial dan Gen Z cenderung lebih kritis: mereka gak mau buang uang untuk sesuatu yang nggak sesuai ekspektasi. Mereka lebih suka hunian dengan desain menarik, efisien, dan mendukung gaya hidup produktif. Kalau harga setara bisa dapat rumah tapak di pinggir kota atau tanah buat investasi, kenapa harus memaksakan apartemen?

 

2. Banyak Kasus Legalitas yang Meragukan

Salah satu hal yang bikin generasi muda was-was adalah masalah legalitas. Masih banyak apartemen yang status tanahnya HGB di atas HPL, atau malah belum beres izinnya. Ditambah lagi, banyak kasus proyek mangkrak atau developer yang kabur tanpa menyelesaikan pembangunan.

Anak muda sekarang melek literasi hukum dan finansial. Mereka gak akan sembarangan ambil KPA puluhan tahun tanpa kejelasan status properti. Mereka tahu, beli apartemen bukan cuma soal punya tempat tinggal, tapi soal jaminan legalitas jangka panjang.

 

3. Biaya Bulanan Diam-Diam Mencekik

Punya apartemen bukan berarti bebas dari biaya. Justru ada beban bulanan tambahan yang sering bikin kantong jebol: service charge, sinking fund, parkir, listrik token yang lebih mahal, dan kadang biaya perbaikan dadakan.

Milenial dan Gen Z yang hidupnya udah penuh dengan cicilan (dari gadget sampai langganan streaming), cenderung lebih realistis. Mereka maunya hunian yang nggak bikin stres tiap tanggal muda. Tinggal di co-living atau rumah sewa dengan harga transparan dan fasilitas lengkap malah terasa lebih worth it.

 

4. Gaya Hidup Fleksibel, Ngapain Terikat?

Anak muda zaman sekarang punya gaya hidup yang sangat dinamis. Banyak dari mereka kerja secara remote, punya side hustle, atau bahkan digital nomad. Beli apartemen justru terasa seperti "mengikat diri" ke satu tempat.

Apalagi sekarang banyak pilihan hunian fleksibel seperti co-living, sewa bulanan via aplikasi, atau tinggal di luar kota yang lebih tenang dan murah. Dengan penghasilan yang belum stabil atau pilihan hidup yang terus berkembang, banyak yang memilih untuk sewa dulu, invest nanti.

 

5. Lingkungan Apartemen Kurang Nyaman Secara Sosial

Banyak apartemen yang padat, minim interaksi sosial, dan jauh dari suasana komunitas. Buat milenial dan Gen Z yang peduli kesehatan mental dan kualitas hidup, ini jadi minus besar. Mereka lebih suka tinggal di tempat yang ramah, terbuka, dan punya ruang hijau.

Interaksi yang kaku antar penghuni, ruang terbuka yang sempit, dan suasana serba individualis bikin banyak anak muda gak merasa "rumah" di apartemen. Mereka butuh lebih dari sekadar tempat tinggal, mereka butuh rasa tinggal.

 

Milenial dan Gen Z bukan anti beli properti. Mereka justru sangat sadar pentingnya investasi dan masa depan. Tapi mereka gak mau membeli hanya karena tekanan sosial atau gengsi.

Buat mereka, keputusan membeli apartemen harus berdasarkan logika, kenyamanan, dan fleksibilitas gaya hidup. Jika apartemen masih menawarkan konsep lama tanpa menyesuaikan dengan realitas hidup anak muda sekarang, ya wajar aja kalau mereka bilang: “Makasih, tapi nggak dulu.”

Jadi, kalau pengembang properti ingin menarget milenial dan Gen Z, waktunya berubah. Nggak cukup jualan lokasi dan view, tapi harus bawa konsep hidup yang relevan, transparan, dan emotionally meaningful.