Kisah Nyata (Part 6-End): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Kami menengadah, mencari sumber suara itu, namun hanya kekosongan yang kami dapat. Bisik-bisik diantara kami, “Suara apa itu?” Usep mendengarnya seperti suara domba, namun terdengar juga seperti suara ringkik kuda sedangkan saya sendiri mengira itu tawa kuntilanak. Sejenak kami saling pandang, kami tahu, kami memiliki pertanyaan yang sama. Makhluk apalagi yang kami hadapi sekarang?. Manusia kerdil yang tadi mengikuti kami, sudah tidak ada lagi, kini kami dihadapkan oleh makhluk ghaib yang lain.
Tak sadar kami terpaku cukup lama, Usep menyadarkan kami, dengan teriakannya, memberi tahu, di depan kami adalah pos 1.
“Gaeesssss.. di depan Pos 1!!” Mendengar itu kami bergegas, sambil tetap membawa sekelumit pertanyaan dalam hati, tentang apa yang terjadi di sini, namun tahan, kami masih disini, tunggu sampai kami menjauh dari tempat ini.
Tanah lapang yang tidak begitu luas, terhampar samar dihadapan kami. Lagi-lagi karena gelapnya malam, semua tak terlihat dengan jelas. Duduk dan menunduk sambil sedikit mengatur napas, kami beristirahat dengan sedikit rasa was was. Syukurlah, ini sudah pos 1 itu artinya tidak lama lagi kami akan sampai.
“Kita lewat jalur lain aja, jangan lewat jalur yang pas naik, bahaya kalau udah malam gini, takut licin, habis hujan.” Ucap Pak Sakri. Memang ketika naik kemarin kami menyebrangi sebuah sungai kecil penuh batu berlumut, jelas menanda kan jarang sekali ada orang yang melintas. Kami yang tidak tahu apa-apa langsung meng iya kan, yang penting kami selamat.
Perjalanan dilanjutkan, jalur yang kami lewati kini memiliki pepohonan yang lebih kecil namun tetap menjulang tinggi. Jalannya cukup besar tidak setapak lagi seperti jalur-jalur sebelumnya.
Letak pepohonan nya tidak begitu rapat, cukup berjarak antara satu dan lainnya. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, masih cukup sore sebenarnya, namun tidak berlaku ditempat seperti ini, tetap sepi dan mencekam.
Sedikit rasa lega terasa dihati kami, ketika kami mendengar suara musik dikejauhan, samar-samar namun pasti kami semua mendengarnya. “Lah ada suara dangdutan, berarti kita udah dibawah ya, udah deket ke desa kali, apa ada yang hajatan?” Tanya ku. Entah apa yang ada dipikiran saya sampai bisa menyimpulkan seperti itu.