Part 6 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan

Gunung Kawi
Sumber :
  • instagram

Kami mulai bergerak kembali beberapa saat setelah beristirahat. Sekarang kami memasuki hutan yang semakin rapat. Namun menapaki jalur yang kami kenal sungguh membuat banyak perbedaan.

Sekarang kami melangkah dengan tenang. Gangguan juga tidak ada lagi seperti yang sebelumnya kami rasakan di jalur berkabut tadi, hanya kelebatan-kelebatan masih sering kali muncul di ekor mataku.

Lalu tanpa diduga, kami tiba di batas hutan. Di sebelah kananku sekarang bukan lagi pohon-pohon besar, melainkan ladang kubis sejauh mata memandang. Dipinggiran hutan aku melihat ada sebuah pondokan kayu. Cahaya yang berasal dari lampu kaleng berpendar-pendar dari pondokan itu.

Rasa gembira dan syukur memenuhi dadaku. Aku langsung berlari ke arah pondokan itu sambil berteriak, "Bang, kita udah sampe bang! Kita udah selamat! Alhamdulillah!!''

Aku berlari di antara penampang-penampang yang berisi buah-buah kubis yang besar dan nampak masak. Di antara kubis-kubis itu kadang terselip terong-terong besar berwarna ungu. Aku langsung teringat pada rasa laparku. Tapi itu bisa menunggu, mudah-mudahan pemilik pondokan mengijinkan kami memakan beberapa buah terong yang tampak segar tersebut.

Pondokan itu dibuat dari batang bambu yang dibelah dua. Ada tangga kecil yang mengarah ke teras pondokan itu. Di teras itu nampak bale-bale kayu, sementara lampu kaleng tampak menempel di dinding. Dengan sigap aku naik ke tangga itu dan mengucap salam.

"Assalamu'alaikum... " Aku mendengar suara salam ku sendiri yang terdengar sedikit antusias. Tapi tidak ada jawaban.

Setelah beberapa kali mengucap salam, akhirnya kudengar suara dari dalam pondokan, disusul pintu yang terbuka. Pemilik pondokan itu adalah seorang kakek yang berusia sekitar 60 tahun. Wajahnya nampak tidak ramah. Lalu tanpa membalas salamku dia bertanya dengan nada yang terdengar jengkel.

"Ada apa? Siapa?" Tanyanya.

Aku menjawab sesopan mungkin, "Saya Alpin, Pak. Saya mau numpang istirahat."

Dia menatapku, masih dengan tatapan jengkelnya kemudian bertanya, "Dari mana?"

"Dari pucuk pak. Kami dari Puncak Dempo." Jawabku.

Jawabannya diluar dugaanku. Dia malah semakin tampak gusar.