Optimalisasi Dana Negara di Perbankan

Fauzan Husaini, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UID Ciamis.
Sumber :
  • Olret

Bandung, Olret – Pemerintah baru saja mengambil langkah berani: menarik kas negara dari Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 200 triliun, lalu menempatkannya di bank-bank BUMN. Kebijakan ini dilakukan agar dana tersebut tidak hanya diparkir di rekening, melainkan menjadi kredit produktif untuk menstimulasi pertumbuhan sektor riil

5 Fondasi yang Harus Kamu Bangun Sekarang atau Tumbang di Tahun 2030

Langkah ini tentu cukup bisa dipahami. Di tengah kondisi ekonomi Indonesia, dimana terjadi pelemahan daya beli masyarakat yang berakibat pada penurunan permintaan agregat.

Dunia usaha yang lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi investasi. Kinerja ekspor yang berpotensi tertekan pasca implementasi kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat serta pelemahan ekonomi global.

Mengapa Gaji Naik Tapi Selalu Minus di Akhir Bulan?

Singkatnya, mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang kehilangan tenaga. Dalam kacamata Keynes, negara mengambil peran sebagai penggerak terakhir (spender of last resort). 

Kebijakan ini tentu akan membuat ruang penyaluran kredit perbankan menjadi lebih terbuka, mengingat hingga Juli 2025, Loan to Deposit Ratio Bank BUMN hampir menyentuh 90%. Bank akan lebih agresif dalam menyalurkan kredit ke sektor produktif. 

Investasi Saham untuk Pemula: Panduan Praktis dari Timothy Ronald

Meski begitu, kebijakan ini tidak tanpa risiko. Pertama, risiko inflasi. Injeksi likuiditas dalam jumlah besar bisa menambah pasokan uang beredar. Jika permintaan naik cepat sementara pasokan barang dan jasa tidak cukup elastis (supply side constraint), harga berpotensi terdorong naik.

Maka, dana segar yang mengalir melalui bank justru lebih berpotensi mendorong inflasi alih-alih mendorong pertumbuhan Ekonomi. Situasi ini bisa menjadi dilema: di satu sisi pemerintah ingin menstimulasi permintaan, tetapi di sisi lain lonjakan inflasi bisa kembali menekan daya beli masyarakat.

Peningkatan penyaluran kredit juga berpotensi akan meningkatan Non Performing Loan (NPL) atau tingkat kredit macet perbankan. Mendorong penyaluran kredit di tengah penurunan daya beli dan keraguan investasi dunia usaha, dapat menyebabkan Bank membuat keputusan pembiayaan yang lebih beresiko.

Apabila kredit disalurkan pada sektor usaha yang tidak produktif, maka NPL perbankan berpotensi meningkat. Kondisi ini tidak hanya berbahaya bagi bank,  tetapi juga stabilitas sistem keuangan nasional.

Tren perlambatan ini, jika dibiarkan akan mempersulit Indonesia keluar dari middle income trap: pertumbuhan ada akan tetapi stagnan di kelas menengah karena tidak ada dorongan untuk naik kelas. Dengan demikian, skenario kebijakan fiskal harus benar-benar cermat.

Manajemen risiko perbankan juga harus dilakukan secara terukur. Penambahan likuiditas memang penting untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, tapi disiplin dalam pengendalian inflasi dan kehati-hatian dalam manajemen risiko kredit tidak kalah penting.

Dengan kata lain, injeksi Rp 200 triliun ini adalah obat yang manjur, tapi dengan efek samping. Ia bisa menggerakkan ekonomi bila dikelola tepat, namun bisa juga menimbulkan komplikasi bila eksekusi di lapangan tidak hati-hati. 

*)Penulis : Fauzan Husaini, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Darussalam Ciamis.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi olret.viva.co.id.