Menepis Kekosongan dan Luka
- Pexels/João Jesus
Olret – Luka dan sepi belakangan ini sering mengganggu sebagian orang. Namun, semua hal yang terjadi begitu mendadak terkadang tak bisa dihindarkan.
Tidak salah jika ingin bersedih dan menangis. Kelas, waktu akan menjawab semua rasa di hati.
Tatapan Luka
Tatapan luka telah mengangkasa
Semesta menariknya naik, membalurnya dengan kemilau pelangi
Aku lupa, bahkan aku tak ingat
Dahulu, air mataku seakan tak mengering
Mereka tak tahu, mereka tak paham
Angin pernah memanjakan anganku, lepas dari ragaku
Retak dan koyakan luka itu tak abadi
Kini hujan mengembalikan anganku, tak membiarkannya pergi, lagi
Mendekap Selalu Cinta
Tak pernah lupa, dahulu hingga sekarang
Pendeskripsiannya sama saja, luar biasa sepi
Batas kesendirian, tanpa seorang teman
“aku selalu ada,” katanya, lalu ia menghilang bersama senja
Mendekap, selalu cinta, ungkapnya
Nyatanya semesta memilih meninggalkan, sendiri
Menyayangi untuk membenci
Tak akan kemana-mana yang selalu hilang, aku melemah
Menepis Kekosongan dan Luka
Dedaunan berguguran bersama harapan untuk bersama
Bersama menepis kekosongan dan luka
Debur ombak menyapu angan yang lepas
Batas tak kasat mata antara angan dan ingin
Angin menerbangkan sekelumit rindu
Rindu akan bayangmu yang menjebakku
Jebakan pada batas aku dan kamu
Hati Tak Bertuan
Lelah, menyeret langkah kaki untuk tetap berjalan
Gelap, tanpa purnama, tanpa suara
Sendiri, berkawan angin dan bayangan
Tuan memanggilku
Kucoba berpaling dari hati yang kosong
Hati tak bertuan
Memilih Tuan yang mendekap inginku
Semua nestapa seakan sirna, Tuan mengisi kosongku
Pemilik Hati
Hati tak bertuan
Tuan tanpa suara
Suara selamat tinggal
Tinggalkanku seorang diri
Hati tak bertuan
Tuan pilu menyapaku
Menyapaku dalam purnama
Purmana rindu akan hadirmu
Ada Tidaknya Kamu
Ada tidaknya kamu, kepalaku penuh dengan ambisi dalam angan
Angan yang melemahkanku, nyatanya semua melelahkan
Ku bertanya pada bintang, bolehkah ku bersandar?
Ia memberiku malam dingin yang sunyi
Ada tidaknya kamu, jiwaku tetap menanti
Menanti genggaman dunia
Jalan berliku pikiranku tidaklah sama
Ambisi yang luruh, seiring akal sehat yang nyata