Pengakuan Soimah 'Ospek' Calon Mantu : 'Tes Mental' atau Kekerasan Verbal?
- republika
Olret – Pengakuan seorang figur publik tentang cara mereka "menguji" mental calon pasangan anaknya seringkali mengundang tawa dan dianggap sebagai cerita lucu.
Namun, di era digital yang semakin peka terhadap isu kesehatan mental, narasi semacam itu kini berpotensi memicu perdebatan sengit. Kisah Soimah dan "ospek" terhadap pacar anaknya menjadi contoh nyata pergeseran nilai ini.
Apa yang di masa lalu dianggap sebagai disiplin untuk mengukur ketangguhan, kini dipandang sebagai kekerasan verbal yang merusak.
Ketika Nilai Lama Bertemu Pandangan Baru
Banyak generasi yang lebih tua tumbuh dengan pola asuh yang menekankan ketegasan dan ketahanan mental.
Menghadapi omelan atau kritikan keras dari orang tua, atau bahkan calon mertua, sering kali dianggap sebagai "gemblengan" yang perlu dilewati agar menjadi pribadi yang kuat. Konsep ini mengajarkan bahwa untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, seseorang harus mampu bertahan dari tekanan dan membuktikan diri layak.
Namun, pandangan ini mulai bergeser drastis. Generasi masa kini semakin sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka memandang bahwa sebuah hubungan, termasuk dengan keluarga, harus dibangun di atas dasar rasa hormat, empati, dan komunikasi terbuka, bukan dengan rasa takut atau intimidasi.
Oleh karena itu, apa yang disebut "tes mental" kini sering diartikan sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak perlu.
Pentingnya Batasan dan Tanggung Jawab Anak
Perdebatan ini juga menyoroti peran sentral sang anak. Banyak warganet berpendapat bahwa tanggung jawab utama untuk memastikan pasangannya diterima ada pada anak laki-laki Soimah, bukan pada sang ibu untuk mengintervensi dengan cara yang merendahkan.
Mereka berpendapat bahwa anak laki-laki seharusnya menjadi jembatan dan pelindung, bukan membiarkan orang yang dicintainya menghadapi "ospek" dari orang tuanya.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa norma-norma dalam sebuah hubungan keluarga terus berkembang. Apa yang dulu dianggap wajar dan lumrah, bisa jadi tidak lagi relevan dan bahkan merusak di masa kini.
Batasan yang jelas dan penghormatan terhadap individu, tanpa memandang usia atau peran, adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat dan berkelanjutan di era modern.