Mazhab Sejarah dalam Filsafat Hukum: Evolusi, Pemikiran, dan Relevansinya bagi Pembentukan Hukum Modern
- https://thumb.viva.id/vivawisata/1265x711/2024/04/17/661f9a38d1b71-para-filsuf-yunani-dan-romawi-kuno_wisata.jpg
Olret – Adanya aliran hukum ditentukan oleh konteks sejarah dan perkembangan masyarakat, sehingga para ahli hukum menafsirkan hukum berdasarkan waktu dan tempatnya.
Kajian filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang terus berlangsung untuk memahami hukum tidak hanya sebagai norma, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang berkembang bersama kehidupan manusia.
Di masa lalu, filsafat hukum lebih merupakan produk sampingan para filsuf, namun kini telah menjadi disiplin kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
Dalam perkembangan filsafat hukum dikenal berbagai aliran, di antaranya hukum alam, hukum positif, hukum murni, mazhab sejarah, sosiological jurisprudence, dan realisme hukum.
Mazhab sejarah menonjol karena memfokuskan perhatian pada jiwa bangsa, adat istiadat, dan evolusi sosial yang membentuk hukum. Setiap perilaku manusia, termasuk praktik hukum, dikaji sebagai bagian dari perjalanan sejarah yang mempengaruhi terbentuknya sistem hukum modern.
Mazhab sejarah memiliki peran strategis dalam memahami hukum sebagai cerminan masyarakat dan budaya, sehingga pemahaman terhadap aliran ini penting bagi pengembangan hukum nasional.
Mazhab Sejarah
Mazhab sejarah muncul pada awal abad ke-18, seiring dengan pesatnya perkembangan rasionalisme yang menekankan kekuatan akal dan prinsip-prinsip universal dalam filsafat hukum.
Rasionalisme kala itu cenderung mengabaikan kekhususan budaya dan adat istiadat masyarakat, sehingga hukum dianggap sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan sama di mana pun. Namun, kondisi ini berubah dengan munculnya semangat nasionalisme di Eropa yang mendorong perhatian terhadap identitas bangsa dan sejarah sosial.
Mazhab sejarah menekankan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sosial dan budaya masyarakat. Konsep Volksgeist atau jiwa bangsa menjadi inti dari aliran ini, di mana hukum lahir dari kesadaran kolektif, nilai-nilai moral, dan praktik sosial yang berkembang seiring waktu.
Hal ini berbeda dengan hukum alam yang bersifat universal dan hukum positif yang terlalu menekankan pada ketetapan undang-undang tanpa mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat.
Selain itu, latar belakang lahirnya mazhab sejarah juga dipengaruhi oleh proses kodifikasi hukum di Jerman setelah era Napoleon Bonaparte. Usulan kodifikasi yang bersifat umum dianggap mengabaikan perbedaan adat dan kondisi lokal, sehingga muncul reaksi dari para ahli hukum seperti Von Savigny yang menekankan pentingnya menghormati hukum yang tumbuh secara alami dalam masyarakat.
Mazhab sejarah kemudian menjadi landasan penting dalam memahami hukum sebagai fenomena sosial yang terus berkembang, bukan sekadar kumpulan aturan yang ditetapkan oleh penguasa.
Pemikiran Friedrich Karl Von Savigny
Von Savigny merupakan tokoh utama dari mazhab sejarah yang lahir pada tahun 1779 di Frankfurt. Ia menekankan bahwa hukum bukanlah sesuatu yang dibuat secara artifisial oleh penguasa atau legislatif, tetapi tumbuh secara organik bersama masyarakat.
Konsep Volksgeist yang diperkenalkannya menyatakan bahwa hukum lahir dari jiwa kolektif bangsa, mencerminkan adat istiadat, nilai-nilai moral, dan pengalaman sosial masyarakat.
Von Savigny menolak pandangan hukum alam yang bersifat universal dan teori positivisme yang menganggap undang-undang dapat menyelesaikan semua masalah hukum.
Menurutnya, setiap bangsa memiliki karakteristik unik yang tercermin dalam bahasa, adat, dan kebiasaan. Hukum berkembang dari masyarakat sederhana ke masyarakat kompleks melalui proses sejarah, bukan sekadar perintah formal.
Peran hakim dan ahli hukum menurut Von Savigny sangat penting. Meskipun hukum tumbuh secara alami dari masyarakat, hakim perlu menafsirkan, menyesuaikan, dan menyusun hukum agar tetap relevan dengan perkembangan sosial.
Savigny juga menekankan bahwa hukum harus mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat, bukan sekadar kepentingan golongan tertentu. Pandangan ini menjadikan mazhab sejarah sebagai pendekatan yang menghargai keseimbangan antara tradisi, moralitas, dan kebutuhan hukum formal.
Pemikiran Georg Friedrich Puchta
Puchta merupakan murid dari Von Savigny yang melanjutkan pengembangan mazhab sejarah. Ia menekankan bahwa hukum suatu bangsa terkait erat dengan organisasi negara dan harus diresmikan melalui mekanisme negara.
Puchta membedakan antara bangsa alam, yang mewakili kelompok etnis dengan keyakinan hukum sendiri, dan bangsa nasionalis, yang mewakili kesatuan negara dengan hukum yang sah. Hukum hanya dianggap berlaku secara formal jika disahkan oleh negara, meskipun adat istiadat tetap menjadi sumber inspirasi.
Dalam pandangannya, Puchta menekankan perlunya kodifikasi hukum dan pengesahan undang-undang sebagai sarana mengatur masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa negara memiliki peran dominan dalam pembentukan hukum, bahkan lebih tinggi daripada peran praktik sosial atau adat.
Pemikiran Puchta memiliki kemiripan dengan positivisme yuridis dan absolutisme negara, karena memberikan legitimasi penuh kepada negara untuk mengatur hukum sesuai kehendaknya.
Meski demikian, Puchta tidak sepenuhnya mengabaikan adat istiadat. Adat dianggap sah jika telah disahkan oleh undang-undang, sehingga hukum adat tetap dapat hidup selama mendapat pengakuan formal dari negara. Pendekatan ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara tradisi hukum dan kebutuhan negara dalam membentuk sistem hukum yang terstruktur dan konsisten.
Pemikiran Henry Summer Maine
Henry Maine menekankan evolusi hukum dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern yang kompleks. Berbeda dengan Savigny, Maine lebih menekankan hubungan hukum dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat, bukan hanya konsep Volksgeist.
Ia mengembangkan teori evolusi hukum dari status ke perjanjian, menunjukkan bagaimana hukum berkembang seiring pertumbuhan masyarakat dari pola hierarkis dan patriarkis menuju sistem kontraktual yang modern.
Maine membagi perkembangan hukum menjadi lima tahap. Tahap pertama adalah hukum patriarkis yang bergantung pada perintah penguasa dan legitimasi religius. Tahap kedua adalah hukum adat yang dimonopoli oleh elit aristokrat.
Tahap ketiga menekankan kodifikasi hukum adat akibat konflik antar komunitas. Tahap keempat menunjukkan modernisasi hukum adat melalui prinsip kesamaan di hadapan hukum dan fiksi hukum. Tahap kelima menekankan peranan ilmu hukum dalam membentuk hukum secara ilmiah, sistematis, dan konsisten.
Pemikiran Maine relevan karena menunjukkan bahwa hukum selalu mengalami transformasi sesuai kebutuhan masyarakat. Pandangannya menekankan bahwa hukum tidak statis, tetapi berkembang dari praktik sosial dan hubungan kontraktual antar anggota masyarakat.
Evolusi hukum ini menjadi dasar penting bagi studi hukum perbandingan dan pembentukan hukum modern yang adaptif terhadap dinamika sosial.
Kontribusi Mazhab Sejarah dalam Filsafat Hukum Modern
Mazhab sejarah memberikan kontribusi signifikan terhadap filsafat hukum modern dengan menekankan bahwa hukum adalah produk budaya, sejarah, dan evolusi sosial. Pemikiran Savigny, Puchta, dan Maine menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari identitas masyarakat, adat, dan struktur sosial.
Kontribusi ini terlihat dalam pembentukan sistem hukum modern yang menyeimbangkan antara kepastian hukum, kodifikasi formal, dan relevansi sosial. Mazhab sejarah menekankan bahwa hukum yang tidak selaras dengan budaya dan praktik masyarakat akan sulit diterapkan secara efektif.
Oleh karena itu, pemikiran mazhab sejarah menjadi panduan penting bagi negara untuk merancang undang-undang yang menghormati tradisi lokal, sambil tetap mempertahankan standar hukum nasional.
Selain itu, pendekatan mazhab sejarah memungkinkan hukum untuk lebih adaptif terhadap perubahan sosial. Hukum tidak lagi dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku, tetapi sebagai instrumen yang tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hal ini relevan dalam konteks modern, di mana dinamika sosial dan teknologi memengaruhi hubungan hukum dan masyarakat secara signifikan.
Relevansi Mazhab Sejarah bagi Hukum Nasional Indonesia
Mazhab sejarah relevan bagi pembangunan hukum nasional Indonesia karena menekankan pentingnya memahami hukum dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah bangsa. Nilai-nilai hukum tradisional yang hidup di masyarakat dapat menjadi fondasi pembentukan hukum nasional yang adaptif dan efektif.
Konsep Volksgeist dari Von Savigny dan teori evolusi hukum Maine memberikan panduan bagi pembuat undang-undang untuk menyelaraskan hukum formal dengan praktik sosial dan budaya lokal. Hukum adat dan praktik tradisional tetap memiliki peran penting selama diintegrasikan secara sistematis dalam kerangka hukum nasional.
Pendekatan ini memungkinkan hukum Indonesia tetap relevan dan mampu mengakomodasi perbedaan budaya, adat, dan dinamika sosial di berbagai wilayah. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip mazhab sejarah membantu menciptakan sistem hukum yang harmonis, responsif, dan berakar pada nilai-nilai masyarakat sendiri, sekaligus memenuhi kebutuhan hukum modern dan nasional.