Part 5 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai
Beberapa pasang tangan putih pucat lain muncul dan menarikku ke semak-semak. Aku berusaha berteriak minta tolong, tapi tenggorokanku tercekat, aku tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan kasar tubuhku ditarik makin dalam ke semak. Kurasakan sesuatu yang basah menempel di telingaku, selang seling diantara tawanya dia berbisik: mati.. Mati... Mati.
Lalu kegelapan total.
Saat kesadaranku kembali, kulihat orang itu didepanku. Pipiku berdenyut sakit. Dia baru saja menamparku dengan keras. Aku terkejut karena aku belum bergerak sedikitpun dari tempat tadi aku berdiri.
"Gua bilang pikiran jangan kosong! Ditempat begini lu ngga boleh melamun, paham ga lu! " Dia membentakku dengan keras. Aku mengangguk sambil mengusap-usap pipiku yang panas. Jantungku masih bergemuruh kencang seakan tangan tangan mayat tadi masih menempel di tubuhku.
Orang itu menarikku dengan kasar, beberapa langkah kami keluar dari jalur. Menganga didepan kami adalah jurang. Kami berdiri tepat dibibirnya. Angin dingin menabrak wajahku. Dalam kegelapan malam, jurang ini terlihat lebih mengerikan. Lalu kudengar suara tangisan, juga teriakan-teriakan minta tolong dari dasar jurang ini. Hembusan angin mengacaukan sumber suaranya, kadang terdengar jauh, kadang terdengar dekat.
"Itu teriakan minta tolong dari pendaki-pendaki yang hilang dan ngga pernah ditemuin lagi." Katanya.
"Mereka salah apa bang?" Tanyaku.
"Di gunung ini lu ngga perlu salah apa-apa, cukup bengong aja lu bisa hilang. Jangan salah boy, setan ngga cuma bisa nyulik badan lu, mereka juga bisa nyulik jiwa lu. Makanya kalo gua ngomong dengerin! Bentaknya lagi. Dia lalu jalan berbalik sambil kembali menarikku.
" Bang, itu tolongin dulu mereka bang." Pintaku
Tapi dia tetap berjalan kembali ke jalur. "Bukan urusan gua." Jawabnya ketus.
Sambil berjalan terseret karena tarikannya, aku terus menerus menoleh ke belakang. Aku iba dengan pendaki-pendaki yang hilang itu. Dalam keadaanku sekarang, aku benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.
"Mata lu liat kemana!" Bentaknya lagi padaku.
Ketika menoleh, aku kaget karena wajahku hampir saja menabrak sepasang kaki yang menggantung. Terkejut dan kehilangan keseimbangan, aku jatuh terduduk. Kaki itu masih disitu, terjuntai lemah. Mataku membelalak menatap ngeri. Pemilik kaki itu adalah anak kecil seumuran adikku. Lehernya patah terikat tali yang menggantung di sebuah cabang pohon.